BAGIAN 2

374 21 0
                                    

Malam sudah menyelimuti seluruh angkasa di atas Kerajaan Pakuan. Sementara di kediaman Panglima Widura yang sangat besar, megah, dan berhalaman luas serta dikelilingi pagar tembok berukuran cukup tinggi, terlihat terang-benderang oleh cahaya api obor terpancang di setiap sudut. Dan para prajurit berjaga-jaga di setiap sudut sekeliling rumah yang bagai sebuah istana kecil ini.
Di dalam sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan megah, terlihat Panglima Widura berdiri. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menghadap seorang perempuan tua berjubah putih kumal yang duduk di sebuah kursi kayu berukir. Tidak ada orang lagi, selain mereka berdua di dalam ruangan yang tertutup ini. Bahkan tidak satu jendela pun yang terbuka. Entah sudah berapa lama mereka berada di dalam ruangan itu. Dan belum juga ada yang membuka suara.
"Aku merasakan kedudukanmu mulai terancam, Widura. Aku minta secepatnya susun kekuatan. Dan rebut Pakuan dari Wiryadanta segera," terdengar datar nada suara perempuan tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, atau yang lebih dikenal sebagai si Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Pasukanku belum cukup untuk menghadapi prajurit yang masih setia pada Prabu Wiryadanta, Nyai," sahut Panglima Widura pelan.
"Kalau menunggu jumlah yang besar, lalu kapan akan melaksanakannya, Widura?" desak Nyai Wisanggeni. "Kau tahu Widura. Bila Kerajaan Pakuan sudah di tanganku, maka puaslah hidupku! Ha ha ha...!"
"Hhh...!"
Panglima Widura hanya menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Sedangkan Nyai Wisanggeni terus tertawa, membayangkan cita-citanya yang tinggal selangkah lagi. Panglima Widura seperti tidak sanggup membantah kata-kata wanita tua itu. Tubuhnya diputar, dan berbalik membelakangi si Setan Perempuan Penghisap Darah. Tangannya bergerak membuka jendela lebar-lebar, membuat angin malam yang dingin langsung menerobos masuk menerpa wajah Panglima Kerajaan Pakuan ini. Tidak lama berdiri menghadap jendela, Panglima Widura sudah kembali memutar tubuhnya. Dan pandangannya langsung tertuju pada Nyai Wisanggeni yang masih menyimpan senyum kebengisan.
"Nyai, boleh aku bertanya sesuatu padamu...?" terdengar ragu-ragu nada suara Panglima Widura.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa Nyai memilih Pakuan? Bukankah banyak kerajaan kecil yang lebih lemah dari Pakuan ini...?" tanya Panglima Widura langsung mengemukakan ganjalan hatinya.
"Dengar, Widura. Puluhan tahun aku menggemblengmu hingga memiiki kepandaian yang sulit ditandingi di Pakuan ini. Dan semua itu kupersiapkan, hanya untuk menghancurkan Wiryadanta yang terlalu sombong itu. Dia terlalu menghina harga diriku sebagai seorang wanita, beberapa puluh tahun yang lalu. Dan sekarang, aku ingin kau menjadi raja di sini, Widura. Dengan begitu, kita berdua bisa melakukan apa saja tanpa ada seorang pun yang berani lagi menghalangi. Jelas, Widura...?"
Kembali Panglima Widura hanya menganggukkan kepala saja sekali.
"Widura, kenapa kau tanyakan itu?" tanya Nyai Wisanggeni dengan tatapan mata tertuju tajam ke bola mata muridnya
"Aku hanya ingin tahu saja, Nyai. Maafkan kalau pertanyaanku tadi membuatmu marah," sahut Panglima Widura.
"Kau hampir saja menyinggung perasaanku, Widura. Itu sama saja membangkitkan luka lamaku pada Wiryadanta."
"Maafkan aku, Nyai."
"Ah, sudahlah...."
Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergalut dalam kepala. Dan beberapa kali Panglima Widura menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan sesekali matanya melirik ke arah gurunya yang tetap duduk di kursi berukir dari kayu jati yang kuat dan kokoh. Sudah bisa diduga, kenapa gurunya begitu bersemangat hendak melenyapkan Raja Pakuan itu. Apalagi kalau bukan asmara. Sementara malam terus merayap semakin la-rut. Dan angin yang berhembus pun semakin terasa dingin menggigil Panglima Widura menutup kembali jendela yang tadi dibukanya hanya untuk mencari udara segar.
"Sudah berapa orang jumlah prajurit yang kau kumpulkan, Widura?" tanya Nyai Wisanggeni, setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan yang mencekam.
"Belum ada seratus orang, Nyai. Sedangkan jumlah prajurit Pakuan sekitar seribu orang. Masih terlalu sedikit untuk bisa menjatuhkan takhta Gusti Prabu Wiryadanta," sahut Panglima Widura menjelaskan.
"Jumlah prajurit tidak terlalu penting, Widura. Biarpun prajuritmu sekarang hanya sedikit, tapi asal dibekali kepandaian yang lebih tinggi, aku yakin kau akan berhasil nanti," kata Nyai Wisanggeni, seakan membesarkan hati murid tunggalnya.
"Kepandaian yang mereka miliki sekarang ini memang jauh lebih tinggi dibandingkan prajurit Prabu Wiryadanta, Nyai. Aku selalu menggembleng mereka agar lebih tangkas dan gesit di dalam pertarungan. Tapi..."
"Tapi kenapa, Widura?"
"Aku masih ragu. Walaupun prajurit yang kau miliki sekarang sudah terlatih, tapi aku merasa tidak akan sanggup menghadapi seribu prajurit Prabu Wiryadanta."
"Kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Widura?" tegur Nyai Wisanggeni.
“Terus terang saja. Nyai. Keraguanku timbul, setelah munculnya Pendekar Rajawali Sakti di sini," sahut Panglima Widura langsung berterus terang.
"Hik hik hik...! Apa yang kau takutkan dari anak muda ingusan itu, Widura...?"
"Dia bukan pendekar sembarangan, Nyai. Tingkat kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, sulit untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya," sahut Panglima Widura berterus terang lagi.
"Jangan pikirkan anak muda itu, Widura. Aku tahu, siapa dia sebenarnya. Selain pendekar berkepandaian tinggi, dia juga seorang raja di Karang Setra," kata Nyai Wisanggeni, agak datar nada suaranya.
"Dia seorang raja, Nyai...?"
Terbeliak kedua bola mata Panglima Widura mendengar penjelasan Nyai Wisanggeni yang mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti juga seorang raja di Karang Setra. Sungguh tidak disangka kalau Raja Karang Setra sebenarnya ternyata seorang pendekar muda yang digdaya dan ditakuti seluruh tokoh persilatan saat ini.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, letak Kerajaan Karang Setra tidak begitu jauh dari Kerajaan Pakuan ini. Dan tentu, Raja Pakuan dan Raja Karang Setra sudah saling mengenal. Dan kalau itu memang benar, Panglima Widura tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Dia tahu, bagaimana kuatnya para prajurit Karang Setra.
Panglima Widura tidak bisa memungkiri, dirinya tidak akan sanggup jika Kerajaan Pakuan ini sampai meminta bantuan Karang Setra. Sedangkan untuk menghadapi rajanya saja, sudah teramat sulit. Jadi bagaimana kalau para prajurit Karang Setra ikut campur dalam memperkuat barisan di Pakuan ini?

117. Pendekar Rajawali Sakti : Memburu PengkhianatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang