BAGIAN 1

530 21 2
                                    

Siang ini matahari bersinar begitu terik, membuat udara di seluruh wilayah Kerajaan Pakuan terasa begitu panas menyengat. Namun panasnya sengatan cahaya matahari, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih terus memacu cepat kudanya menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan lari kudanya baru dihentikan setelah terlihat sebuah pondok kecil yang begitu kumuh tidak jauh lagi di depannya.
"Hup!"
Ringan sekali pemuda itu melompat turun dari punggung kuda hitam tunggangannya ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Sebentar dia berdiri tegak dengan pandangan lurus tertuju ke pondok kecil tidak jauh di depannya.
"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu," ujar pemuda itu seraya menepuk lembut leher kuda hitam tunggangannya.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu hanya menganggukkan kepala sambil memperdengarkan suara mendengus kecil. Beberapa langkah binatang itu ke belakang menjauhi pemuda yang tak lain Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pemuda itu sendiri pun berdiri tegak dengan pandangan lurus tidak berkedip ke depan. Dia tahu, pondok itu yang didatangi Panglima Widura beberapa waktu lalu. Bahkan bertepatan dengan munculnya Nyai Wisanggeni ke padepokan Ki Jumir. Dan akibatnya orang tua itu tewas. Sementara Pandan Wangi terluka parah. Kini perlahan lahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengayunkan kakinya mendekati pondok kecil yang kelihatannya sudah hampir roboh tidak terawat lagi.
"Hm... Pondok ini sepertinya masih saja tetap kosong," gumam Rangga perlahan.
Semakin dekat jaraknya dengan pondok kecil di tengah hutan ini, semakin tajam sorot mata Pendekar Rajawali Sakti mengawasi. Dan sejenak langkahnya terhenti. Pendengarannya yang memang tajam langsung dipasang dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu yang membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin tajam. Begitu tajamnya, sampai suara semut jatuh dari pohon pun bisa terdengar.
Kini Rangga mengarahkan pendengarannya ke pondok kecil di depan itu. Tapi tetap saja tidak mendengar adanya tarikan napas kehidupan sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan kakinya perlahan-lahan semakin mendekati pondok kecil ini. Dan sikapnya pun semakin waspada.
"Hm..." Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja ayunan kakinya terhenti disertai terdengamya suara menggumam perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....
Slap!
"Hup!"
Cepat Rangga melenting berputar ke belakang, begitu tiba-tiba dari dalam pondok meluncur sebatang tombak yang cukup panjang ukurannya. Tombak itu melesat lewat di dalam lingkaran tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Matanya sedikit melirik ke arah tombak yang sudah terbenam begitu dalam ke batang pohon tidak jauh di samping kanannya. Kemudian, perhatiannya cepat beralih ke pondok kecil di depannya kembali.
"Hm.... Agaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Aku harus hati-hati menghadapinya," gumam Rangga dalam hati.
Rangga mengambil sepotong ranting kering di ujung kakinya. Dipandanginya sesaat ranting sepanjang dua jengkal itu. Kemudian pandangannya beralih lurus ke arah jendela pondok bagian depan yang terbuka cukup lebar. Dari jendela itulah tombak datang menyerangnya tadi.
"Hih!"
Sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan, Rangga melemparkan ranting kering itu tepat ke arah jendela yang terbuka cukup lebar. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu melesat cepat bagai kilat, seperti sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepat, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa.
Slap!
Ranting itu menerobos masuk ke dalam pondok melalui jendela yang sedikit terbuka. Tapi, tidak terdengar suara apa pun dari dalam pondok itu. Kecuali, suara seperti sebatang anak panah yang menghujam menghantam tonggak kayu.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat ke arah pondok itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali melesat saja, dia sudah sampai di depan pintu pondok itu. Dan....
"Yeaaah...!"
Brak!
Sekali tendang saja, pintu pondok yang terbuat dari papan kayu dan sudah lapuk itu hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu juga. Pendekar Rajawali Sakti melesat masuk ke dalam. Namun begitu kakinya menjejak lantai pondok yang hanya dari tanah keras itu, seketika...
Wusss!
Slap!
"Heh...?! Hup!"
Cepat Rangga melenting ke belakang, kembali ke luar begitu tiba-tiba diserang puluhan anak panah di dalam pondok kecil ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, kemudian dengan gerakan indah dan ringan kakinya kembali menjejak tanah.
"Hhh!"
Rangga menghembuskan napas pendek yang terasa begitu berat, setelah berada di luar pondok. Kelopak matanya jadi menyipit melihat keadaan di dalam pondok yang begitu sunyi, tidak terlihat seorang pun di sana. Tapi, nyatanya dia sudah mendapat serangan dua kali.
"Hm.... Mungkinkah pondok ini dipasangi perangkap...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
Memang, sepertinya pondok kecil dan reot yang sudah hampir roboh itu dipasangi begitu banyak perangkap yang tidak bisa diduga sama sekali. Dan ini membuat Rangga jadi penasaran, dengan segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Padahal waktu itu tidak dijumpai adanya satu jebakan pun di pondok ini. Tapi sekarang, pondok itu jadi sulit didekati.
"Baiklah.... Kau boleh mencobaku, Nyai Wisanggeni," desis Rangga dingin.
Sebentar Rangga mengetatkan ikat kepalanya. Pandangan matanya terus tertuju tajam pada pondok kecil di depannya. Sejenak dia terdiam memandangi pondok itu. Kemudian, kakinya mulai terayun mendekati. Begitu ringan ayunan langkahnya, hingga sedikit pun tidak ada suara yang ditambulkan.
Rangga memungut serpihan papan kayu pintu, kemudian melemparkannya ke dalam. Dan pada saat itu juga, terlihat puluhan batang anak panah berhamburan keluar dari dinding pondok, menghujani serpihan papan kayu itu.
"Hup!"
Rangga cepat melompat ke depan pintu. Dan seketika pula kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir tidak dipercayai dengan apa yang ada di depan matanya saat ini. Seluruh dinding bagian dalam pondok itu sudah terpasang puluhan batang anak panah yang siap terlontar. Bahkan tidak terhitung, berapa jumlah tombak yang terpasang dan siap melesat memangsa siapa saja yang berusaha mendekati pondok ini.
"Gila...! Benar-benar hebat perempuan itu membuat jebakan," desis Rangga hampir tidak percaya.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke belakang. Kemudian... "Aku harus menghancurkan pondok ini. Hih! Hiyaaa...!"
Tepat di saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti menghentak ke depan, seketika itu juga dari kedua telapaknya meluncur cahaya merah bagai api yang begitu cepat bagai kilat.
Glarrr!
Satu ledakan yang begitu dahsyat tiba-tiba terjadi, menghancurkan pondok kecil di dalam hutan ini. Saat itu juga, Rangga cepat melompat ke belakang, hingga terhindar dari pecahan kayu pondok yang menyebar ke segala arah. Api langsung membubung tinggi ke angkasa, disertai kepulan asap hitam membentuk sebuah jamur raksasa!
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara, pondok di dalam hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni itu sudah hancur termakan api yang diciptakan dari pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sedangkan Rangga berdiri tegak memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hhh! Terlalu berbahaya kalau pondok itu didiamkan saja," desah Rangga seraya menghembuskan napas berat.
Perlahan Rangga melangkah mundur ke belakang beberapa tindak, kemudian berbalik. Namun saat itu juga dia jadi terperanjat. Entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seseorang berjubah putih longgar yang membungkus tubuh kurusnya agak membungkuk. Namun yang membuat Pendekar Rajawali Sakti terkejut, wajah orang itu berwarna merah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Kedua bola matanya yang memerah, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak siapa...?" tanya Rangga.
"Aku Dewa Muka Merah, saudara tua Datuk Muka Hitam yang tewas di tanganmu," kata orang bermuka merah itu.
"Aku Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam tewas di tanganku. Lalu, apakah kau ingin membalas kematian adikmu?" tanya Rangga, seperti ingin mengetahui maksud orang yang mengaku sebagai Dewa Muka Merah itu.
"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kisanak. Justru aku di sini untuk mencari adikku si Datuk Muka Hitam. Dia telah terlalu jauh terjerumus ke dalam dunia kotor. Sebenarnya, aku ingin dia kembali. Tapi memang wataknya terlalu keras. Dan akhirnya, mati di tanganmu," desah Dewa Muka Merah.
"Aku mohon maaf, Dewa Muka Merah. Adikmu terlalu memaksaku," ucap Rangga, pelan.
"Sudahlah, mungkin memang sudah nasibnya. Oh, ya. Ada urusan apa kau menghancurkan pondok Nyai Wisanggeni?" tanya Dewa Muka Merah.
"Dia membunuh sahabatku, dan melukai kekasihku hingga parah," sahut Rangga. "Aku harus menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah itu sebelum mengambil korban lebih banyak lagi."
"Kau tidak akan mendapatkannya di sini. Kalau mau kau bisa memancingnya dengan menangkap muridnya. Tapi, aku rasa tidak mudah. Sedangkan aku sendiri belum bisa menahannya. Dan Widura lebih berbahaya daripada gurunya sendiri si Setan Perempuan Penghisap Darah."
"Tampaknya kau tahu banyak tentang Nyai Wisanggeni, Kisanak."
"Lebih dari yang kau duga. Karena kami juga punya urusan lama dengannya. Bahkan dia juga berusaha membunuh semua murid kami. Dulu waktu muridku yang bernama Rahkapa masih kecil juga ingin dibunuhnya, dengan perantaraan Widura yang kini menjadi panglima di Kerajaan Pakuan. Dia memang ingin membunuhi siapa saja yang mempunyai hubungan dengan kami. Sayang, aku dan adikku tidak bisa bekerja sama karena berlainan sifat. Bahkan dia yang lebih berhak mengasuh Rahkapa," jelas Dewa Muka Merah.
Rangga jadi terdiam. Diamatinya wajah Dewa Muka Merah yang merah itu. Walaupun wajah dan tubuhnya telah ringkih tapi dari sorot matanya Rangga melihat adanya sifat welas asih dalam hatinya.
"Kalau mau, kita bisa hadapi mereka bersama-sama, Kisanak," kata Dewa Muka Merah lagi mengajak.
Rangga tersenyum dan melangkah mendekati. Kemudian tangannya diulurkan. Dewa Muka Merah langsung menyambut uluran tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjabatan tangan beberapa saat.
"Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga, setelah jabatan tangannya terlepas.
"Dan kau harus memanggilku Dewa Muka Merah."
Mereka sama-sama tersenyum, menandakan sebuah persahabatan yang mulai terjalin dengan satu tekad dan tujuan sama, menghadapi si Setan Perempuan Penghisap Darah dan muridnya yang kini menjadi seorang panglima perang di Kerajaan Pakuan. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka kembali terdiam. Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka sama-sama melangkah meninggalkan pondok Nyai Wisanggeni yang sudah hancur rata jadi debu.
"Ke mana tujuanmu sekarang, Dewa Muka Merah?" tanya Rangga setelah mengambil tali kekang kudanya.
"Entahlah... Aku sekarang tidak tahu lagi, di mana Nyai Wisanggeni sekarang berada.” sahut Dewa Muka Merah tanpa menghentikan ayunan langkah kakinya.
"Hm... Ada baiknya kita berpisah di sini saja dulu. Aku masih harus menemui seseorang," kata Rangga, ketika mereka bertemu sebuah persimpangan jalan.
"Silahkan, Rangga. Aku pun harus mampir dulu ke rumah sahabatku di Kotaraja Pakuan," sahut Dewa Muka Merah.
Mereka pun berpisah. Rangga belok kanan, Dewa Muka Merah belok kiri.

***

117. Pendekar Rajawali Sakti : Memburu PengkhianatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang