Mahadewi

377 13 1
                                    


"Dew, lo masih ingat sama cowok yang namanya Ethan nggak?" tanya Wilona saat mereka sedang makan siang berdua. 

Dewi menggeleng pelan, "Siapa emangnya?" tanya Dewi lagi. 

Wilona mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Lo nggak inget atau lupa?"

"Apa bedanya sih?" tanya Dewi sedikit kesal. "Gue udah ketemu ratusan orang bahkan ribuan dengan berbagai nama dan latar belakang yang berbeda, jadi mana gue ingat sama satu orang yang nggak penting begitu."

Wilona tertawa renyah, "Ethan itu kakak kelas kita waktu SMP, masa lo lupa. Padahal waktu itu dia cukup populer, lho."

"Ethan si bule itu?" tanya Dewi setelah berhasil mengumpulkan ingatannya mengenai sosok laki-laki yang mereka bicarakan. 

Wilona mengangguk sambil menyesap minumannya sejenak. "Dia bikin project baru bareng Mas Phian, gue juga kaget waktu dia bilang masih inget sama kita. Padahal kita sama sekali nggak pernah kontak dengan doi waktu sekolah dulu."

"Ah," Dewi mendesah singkat. "Wajar aja kalo dia ingat sama lo, karena waktu SMP lo kan termasuk jajaran fangirl Ethan."

Wilona tertawa singkat sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Jijik banget kalo gue ingat kelakuan waktu zaman jahiliyah dulu. Eh, tapi gue bukan fangirl Ethan, ya. Gue cuma mengidolakan Reiner, hehe."

Dewi menyesap lemon tea di hadapannya dengan bibir sedikit mencebik. "Sekarang lo masih suka sama Reiner?"

"Astaga, pertanyaan lo nggak penting banget, ya. Mana mungkin gue suka sama pacar sahabat gue sendiri?"

"Hati manusia siapa yang tahu," balas Dewi sambil memggedikkan bahu. 

"Please deh, Dew. Gue dulu emang suka sama Reiner, tapi itu waktu kita remaja ingusan. Sekarang perasaan gue biasa aja sama dia. Waktu gue tahu Reiner nembak lo, gue malah ikut senang."

"Ehm," Dewi mencoba memikirkan sesuatu demi mengalihkan perbincangan mereka ke arah lain. Membicarakan pacar dengan sahabat yang pernah menyukai pacarmu bukan sesuatu yang bagus, batin Dewi. 

"Perkembangan butik lo gimana?" tanya Dewi kemudian. 

"Well," Wilona menyandarkan punggungnya sebelum lanjut berkata. "Cukup bagus untuk desainer pemula seperti gue. Mbak Arum banyak ngasih bantuan ide, dan gue benar-benar bersyukur atas kehadirannya."

"Kalo lo ngadain promo, tolong infoin gue ya. Biar gue borong semua isi butik lo," kelakar Dewi. 

"Tenang aja lo, nggak usah nunggu musim promo segala. Kalo lo mau, sekarang juga gue kasih diskon untuk produk yang launching bulan ini."

"Wah gue ngiler sih, tapi ada syaratnya gak tuh?"

"Ya ada dong," jawab Wilona. "Lo cukup share produk gue lewat sosial media lo, terus tag akun instagram butik gue biar follower lo ikutan beli."

"Wah, kira-kira harga diskon itu sebanding nggak dengan eksposure yang bakal gue lakuin?"

Wilona menatap Dewi dengan sedikit memicing, "Lo kaya selebgram jutaan follower aja deh."

Dewi tertawa ngakak sewajarnya. Melihat wajah Wilona menahan cemberut begitu tampak lucu di matanya. Perempuan berkaca mata minus itu melirik arloji dan mempertimbangkan untuk segera beranjak pergi. Jam makan siang akan segera berakhir dan Dewi harus kembali ke kantornya. 

"Besok gue traktir lo, ya," ujar Wilona sebelum mereka meninggalkan kafe. 

"Dalam rangka apa?" tanya Dewi penasaran. 

"Nggak dalam rangka apa-apa sih, cuma pengen traktir lo aja."

"Wah, boleh. Tapi di The Bottle ya," ujar Dewi dengan seantusias mungkin. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perempuan MahalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang