11

4.2K 573 79
                                    

Rasa sukanya pada Taehyung tak perlu diragukan.

Sesuka itu, secinta itu. Padahal dekat saja tidak. Cukup perhatikan tingkah pemuda manis itu dengan adiknya acap kali mampir ke kantor untuk temani si kakak antarkan bekal. Tak selalu layangkan pandang, cukup perhatikan sesekali dan dengar cerita adiknya sekembali dari kantor buat Jeongguk yakin kalau ia into Taehyung.

Hanya tunggu chance untuk bisa reach out.

Calon adik iparnya sudah duduk manis. Tak jadi pergi sejak ia tak berikan izin. Paham kalau Taehyung berusaha hindari dirinya. Senyum kecil waktu lihat Taehyung selalu hindarkan tatapan, buang pandang ke arah lain, sibukkan diri dengan teman lelakinya juga Somi.

Omong-omong dirinya sedikit tidak menyukai jemari yang saling genggam erat itu. Belum lagi Taehyung nampak clingy pada teman lelakinya yang bernama Jimin.

"Kakak-kakak, ayo kita ambil makan!" Somi berteriak senang seraya tarik lengan Taehyung dan Jimin ke arahnya.

"Tae, kamu mau kakak ambilkan apa ambil sendiri?" Jennie hentikan sebentar obrolannya dengan Jeongguk—seperti sesi tanya jawab sebenarnya.

"Ambil sendiri." Mulai ambil piring dan mengisi dengan nasi juga lauk yang dibuatkan Mama-nya tadi pagi. Pun dengan Jimin dan Somi yang lakukan hal serupa.

Jeongguk sedikit lama perhatikan Taehyung yang terlihat ragu untuk mengambil kimchi sawi. Sadar kalau bowl berisi kimchi sawi itu berada di sisi kanan dirinya—buat Jeongguk semakin yakin kalau Taehyung hindarkan diri.

Dorong pelan bowl kimchi tadi lebih dekat ke arah Taehyung. "Ambil aja kalau mau." Sedikit tampilkan senyum untuk buat Taehyung merasa nyaman dan tidak canggung.

Terlihat memerahnya wajah Taehyung buat Jeongguk semakin tahan gemas. Pemuda manis itu sedikit kikuk mengangguk, cepat mengambil kimchi dan pergi ke sofa di pojok ruang. Lucu sekali reaksinya astaga.

Dengusan geli terdengar terlalu keras sepertinya, buat Jennie sedikit bertanya. "Kenapa, Gukkie?"

"Nggak apa-apa, cuma teringat hal lucu." Kembali pasang wajah datar. Beri lirikan pada sofa pojok ruangan, perhatikan ketiga muda-mudi disana.

Sayup-sayup terdengar konversasi penuh antusias juga lelucon terdengar. Juga beberapa dering tawa yang terlontar dari ketiganya. Jeongguk serasa ingin bergabung. Sedikit bosan dengar Jennie yang mengajaknya berdiskusi soal pesta pertunangannya lusa nanti.

"Gukkie, kamu nanti mau ngecek hotel tempat kita acara nggak?" Jennie tersenyum, berusaha hilangkan canggung. "Aku sekalian mau ngecek detail dekorasinya nanti."

Jeongguk angkat bahu. "Eunwoo tadi udah email saya jadwal meeting sampai sore nanti, mungkin nggak bisa." Rapikan piring bekas makannya tadi. "Kamu aja, ada Bunda juga pasti disana."

Alihkan pandangan pada pemandangan langit diluar lewat kaca besar kantornya. Tanda tak ingin terlibat konversasi lebih jauh. Pun tidak munculkan kuriositinya selama diajak mengobrol, buat Jennie pasang senyum kecut.

Jeongguk tidak akan menoleh ke arahnya. Ia harus lebih berusaha—agar kesempatan untuk menyandang titel Nyonya Jeon tidak beralih pada gadis lain.

Jennie diam-diam pasang seringai tipis.

Ponselnya berdering buat Taehyung alihkan sebentar atensinya dari tugas. Pijat sebentar pangkal hidungnya untuk kurangkan pening karena terlalu lama tatap monitor laptop. Ambil ponselnya segera, pikirnya telepon penting. Di penghujung malam begini, terlalu kurang ajar kalau menelepon untuk hal sepele.

Abaikan siapa yang menelepon, langsung angkat tanpa pikir panjang. "Halo?" Suaranya terdengar lelah, kantuk menyerang karena ia belum tidur sama sekali.

"Taehyung? Kamu masih bangun?"

"Shit!" Sambungan terputus. Mungkin refleks atau panik karena calon kakak iparnya menelepon malam-malam begini. Sungguh, sebuah ketidaksengajaan Taehyung langsung matikan telepon begitu suara Jeongguk terdengar.

Ponselnya kembali berdering. Taehyung kali ini sudah siapkan hati—juga jantungnya agar bisa toleransi untuk berdetak biasa. "Ha—halo?"

Kekehan pelan terdengar. Taehyung sedikit terkejut; darahnya berdesir pelan juga jantungnya dengan shameless malah berdetak lebih cepat. "Kenapa tadi langsung dimatikan? Kaget?"

Ini kali pertama Taehyung mendengar suara Jeongguk yang santai. Tidak kaku sama sekali. "Eh—iya, mas. Maaf."

"Nggak perlu." Lelaki itu lepaskan tawa kecil. "Saya paham, kok."

Taehyung mengangguk pelan. Mainkan ujung piyamanya gugup. Berusaha ingatkan diri sendiri kalau Jeongguk tidak boleh menjadi gebetannya, lelaki itu tunangan kakaknya. "Mas kenapa telepon? Ada hal penting buat kakak?"

"Kalau ada juga saya langsung telepon dia, bukan kamu." Suaranya terdengar malas.

"Terus, mas Jeongguk perlu apa? Kok telepon saya malam-malam?" Taehyung menguap beberapa kali. Benar-benar mengantuk.

"Saya mau pastikan kamu sudah tidur, ternyata belum."

God, jangan tanya reaksi Taehyung seperti apa. Sudah tentu memerah wajahnya. "O—oh, gitu."

"Kamu masih mau kerjakan tugas?"

"Nggak tau." jawabnya pendek. Sandarkan punggung pada pinggiran kasur. "Mas, maaf, kalau nggak terlalu penting saya matikan. Tugas saya belum selesai, saya juga belum ada tidur."

Taehyung pasang mode defensif. Pasang pembatas besar antarkeduanya—not literally; tak ingin terlalu jauh bawa perasaan, ingin segera lupakan lelaki itu. Ingatkan diri kalau Jeongguk berusaha dekat dengannya hanya sebagai calon kakak ipar.

Rupanya lelaki Jeon diseberang tak ingin lepaskan. "Saya cuma mau bilang, besok saya perlu bicara sama kamu. Besok saya telepon lagi." Hening terasa, bahkan Taehyung hampir putuskan sambungan. Deheman pelan buatnya tertahan. "Semangat kerjakan tugasnya, jangan begadang. Sleep tight there."

Lagi-lagi dengan kurang ajarnya pipi Taehyung merona—bahkan setelah lima belas menit sambungan terputus.

[]
aku nencium bau-bau ngegas disini hmm
ps : stay positive, stay safe 💕
pss : thankiess udah mampir, love you💕

hardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang