15

5.1K 505 64
                                    

"Kamu kayaknya lagi halu, ya, Tae? Ngelantur begitu."

Malam belum begitu tua, tuju tengah malam pun masihlah jauh. Hawa sejuk dari air conditioner buatnya sedikit bergidik. Matanya beberapa kali dialihkan ke arah lain karena mulai perih; iya, sedari tadi tatap monitor laptop terus-terusan.

Dengusan kecil terdengar, "Sembarangan kamu, Jim!" desisnya. Ponsel dibiarkan tergeletak di samping paha, lengkap terpasang earphone—mudahkannya bercerita dengan Jimin. "Aku nggak ngelantur, ya! Aku nggak bohong!"

Di seberang, Jimin masih layangkan protes; tak percaya. Hei, siapa juga yang akan percaya kalau si kaku lagi tua—sialnya tampan bermarga Jeon itu telepon sahabatnya di tengah malam; bawanya ke resto mewah keesokan harinya, bahkan secara tidak langsung utarakan perasaan, huh?

"Tapi, Tae, aku masih nggak percaya! Rasanya nggak mungkin banget!"

Hela napas terdengar, sertainya dengan desisan kala beberapa kata yang ia ketik untuk presentasi pekan depan tidak sesuai. "Ya sudah, kalau kamu nggak percaya. Intinya si mas tadi bilang begitu."

"Tae, dengar aku." Jimin mulai bertitah. Duganya, Jimin akan berikannya petuah serta awareness panjang lebar.

"Iya, Jim, aku dengerin." Sahutannya terdengar malas.

"Kondisinya ini besok mas Jeongguk bakal tunangan dengan kakakmu, kemungkinan besar nggak bakal dibatalkan gitu aja karena Mas-mu itu kelewat goblok, lambat." Jimin jelaskan. "Setelahnya, karena kakakmu sudah menyandang gelar 'Jeon Jeongguk's fiancée', tentu kakakmu punya chance dan hak lebih dari kamu, Tae. Eventhough, orang yang dicintai mas Jeongguk itu kamu."

Oke, ini pembicaraan serius. Taehyung hentikan kegiatannya kerjakan tugas, pindahkan sedikit laptopnya. "Hm, iya, Jim, aku ngerti. Lanjut."

"Nah, kalau nanti—anggap lah setelah satu minggu mereka tunangan, baru kedua belah pihak—keluargamu sama keluarga mas Jeongguk bahas soal pembatalan tunangan; aku duga kak Jennie bakal tolak. Nggak bakal mau. Kamu tau sendiri kakakmu gimana, Tae." Jeda beberapa saat, buat Taehyung makin berdebar. "Dan pertunangan mereka bakal susah buat dibatalkan karena salah satu pihak nggak setujui."

Belah bibirnya masih belum keluarkan suara. Jemarinya sibuk mainkankan ujung piyamanya, gugup. Bibirnya sedikit mengerucut, "Iya, Jim. Aku tau. Ngerti banget."

Hela napas terdengar panjang disana. "Belum lagi nanti kalau kakakmu tau kalau yang dicintai sama mas Jeongguk itu kamu, Tae. Aku nggak bakalan bisa bayangin kamu bakal diapain sama kak Jennie."

"A—aku juga bingung, Jim, mesti gimana." Bibirnya mulai bergetar. Pelupuk mata mulai diberatkan air mata. "Disatu sisi, a—aku senang akhirnya bisa tahu mas crush aku siapa, bahkan bisa ngobrol berdua." Deguk tangisnya terdengar pelan. "Tapi, disisi lain, rasanya aku jahat banget ke kakak, Jim. Aku—bingung."

"Tae," suara Jimin melembut di sana. "Ini mungkin bakalan bikin kamu sakit. Tapi, menurut aku, kamu jangan terlalu taruh harapan besar sama mas Jeongguk, pun jangan nyerah gitu aja, hm? Mereka masih tunangan, dan ini bukan pertama kalinya mas Jeongguk dijodohkan. Ini hanya tebakanku, sih. Cuma, orang kayak mas Jeongguk, tuh, nggak mungkin nggak sering dijodohkan sama orangtuanya."

Taehyung masih terisak dalam diam, dengarkan segala omongan sahabatnya.

"Jadi, kemungkinan mereka buat batalkan tunangan juga besar, Tae." Jelas Jimin. "Makanya aku juga minta jangan nyerah."

Getar lain isi ponselnya, Taehyung jauhkan sedikit. Tampaknya ada panggilan lain. Bibirnya digigit resah, tahu pasti si penelepon.

"Jim, mas Jeongguk telepon aku."

Langkahnya ia bawa pelan-pelan tuju lemari pendingin di lantai bawah. Ingin ambil minum karena kerongkongannya terasa kering. Merasa kesal sendiri karena sebelumnya tidak siapkan minum untuk ditaruh di atas nakas.

Lekas ambil dengan asal botol air mineral dari lemari pendingin, bawanya kembali ke kamar. Hentikan langkah saat tahu pemilik kamar sebelahnya belum terlelap. Ingin datangi untuk menyuruh adiknya tidur.

"Saya nggak nangis, Mas."

Suara itu buat tangannya yang ingin mengetuk, menggantung tepat di depan pintu. Pertajam pendengaran untuk dengar konversasi itu lebih lanjut.

Netranya nampak melebar kala dengar adiknya keluarkan gerung menggemaskan—yang tentu ditujukan pada lawan bincangnya di telepon. Pikirannya mulai ribut, sibuk buat layangkan tanya—siapa yang ditelepon Taehyung tengah malam begini? Mas? Mas siapa?

Kakinya masih belum mau beranjak. Ingin tahu lebih jauh. Adiknya bahkan jarang keluarkan rengekan—dihadapannya. Mungkin pernah, tapi saat itu mungkin ia sedang sibuk—tak taruh atensi penuh.

Salahkan dirinya yang memang lebih sibukkan diri sendiri, jarang perhatikan adiknya. Toh, adiknya itu lelaki, bisa jaga dirinya sendiri. Justru dirinya yang butuh atensi. Butuh dimanja dan dilindungi.

"Saya nggak lucu, Mas!"

Sedikit geli dengar adiknya merengek seperti wanita. Pikirnya, mungkin memang begitulah aslinya adiknya. Mungkin sisi itu yang jarang diperlihatkan adiknya. Mungkin, hanya pada Jimin adiknya tunjukkan itu. Mungkin lainnya.

Sesekali dengar adiknya helakan tawa pelan. Mungkin takut mengganggu kedua orangtua mereka yang sudah terlelap. Suaranya terdengar satu oktaf lebih tinggi dari yang biasa terdengar, pun lebih lembut. Bayangan wajah adiknya yang nampak ulas senyuman lebar, semburat merah muda hiasi pipi  muncul dalam pikiran.

Sudut bibirnya naik, beri dengusan remeh. Maniknya menatap pintu kamar adiknya dingin. Konversasi yang ia dengar jelas berbeda. Adiknya tidak sebegitu heboh dan malu-malu saat lontarkan canda tawa dengan sahabatnya.

Langkahnya mundur, memilih tuju kamarnya untuk hilangkan dahaga—yang sempat tertunda, dan kembali tidur.

Sebelum kembali pejamkan mata, kepalanya ia gelengkan, masih tak habis pikir. Adiknya ternyata penyuka sejenis.

[]

Mulai nih...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

hardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang