Tulang ini begitu rapuh untuk menopang beratnya semesta
_ _ _Pagi ini Ara berencana untuk pergi ke cafe milik nya, sekedar untuk meminum secangkir espresso dengan sedikit caramel, sebelum ke makam mama dan ke rumah sakit melihat keadaan adik nya.
Cafe yang Ara miliki adalah hasil dari uang tabungan nya selama sekolah, dan juga dari harta peninggalan mendiang mama nya.
Tapi Ara hanya menggunakan sebagian saja harta itu untuk membangun usahanya, dan selebihnya menggunakan uang tabungan milik nya, sisa nya pun Ara tabungkan.
Namun itu semua tidak sia sia, usaha yang dia bangun berkembang pesat di kalangan pelajar, mungkin karena desain interior yang sengaja di buat untuk kalangan anak muda, tidak hanya itu, para pemilik restoran dan cafe lain tidak sedikit yang meminta kerjasama dengan cafe milik Ara.
Mereka membicarakan tentang hasil yang akan di dapat yang akan melebihi apa yang di dapatkan Ara sekarang, namu Ara tidak mau, karena dia tau, itu cuman iming iming belaka.
Bagi Ara apa yang dia dapatkan sekarang sudah lebih dari cukup, cukup untuk biaya sekolah dan pengobatan adik nya.
Sedangkan papa Ara melanjutkan bisnisnya yang semakin berkembang, keluar masuk negara lain sudah menjadi rutinitas papa nya, papa Ara di kenal dengan pembisnis yang hebat.
Namun hanya satu kekurangan, papa Ara tak punya banyak waktu untuk anak nya, bahkan untuk sekedar menjenguk Kamila pun papa punya banyak alasan.
Usaha yang Ara kembangkan pun tanpa sepengetahuan papa nya, bukan karena apa apa, Ara hanya ingin merahasiakan.
Di tambah lagi dengan mami dan saudara tirinya itu, Ara lelah dengan sikap mereka, Ara capek.
Kemarin Ara sudah selesai membeli keperluan pameran dan lomba puisi.
Ara ikut lompa puisi, dia mungkin tidak terlalu wah dalam membuat maupun membaca puisi, namun keyakinan lah yang membawa Ara ke sini, dimana dia di kenal orang banyak dengan sebutan seorang seniman.
Ara bersyukur akan hal itu.
Sekarang Ara sudah terlihat rapi dengan balutan kaus oblong berwarna hitam, sling bag dan celana cargo se lutut,tidak lupa sepatu kets putih, penampilan Ara terlihat simple namun berkesan, dan rambut nya di ikat menjadi satu kebelakang.
Setelah merasa puas dengan penampilan nya, Ara segera turun menuju dapur, mengambil beberapa Chiki dan permen di dalam kulkas.
"Mau kemana kamu" tanya seseorang tepatnya dari arah belakang Ara. Ara yang mendengar itu pun langsung berpaling menghadap orang itu.
"Mm-mm anu mi" ucap Ara terbata bata.
"Halah gausah anu anu, cepet ngomong mau kemana kamu" tanya Valerie mama tiri Kiara dengan tatapan tajam.
"Mau keluar mi" jawab Ara dengan menundukkan kepalanya.
"Boong mi,, palingan dia mau ngumpul bareng teman teman nya" sahut Elise saudara tiri Ara, tampak kedengkian dari sorot mata nya.
"Engga kok mi, aku cuma mau ke makam mama sama ke rumah sakit aja mi" ucap Ara dengan nada pelan dan masih dalam keadaan menunduk.
"Mama kamu itu udah mati, buat apa kamu ziarah segala" bentak Valerie.
Mendengar ucapan yang di keluarkan oleh mama tiri nya itu, satu tetes air langsung turun dari pelopak mata Ara, tidak sekali dua kali mereka membentak Ara seperti itu.
Ini yang Ara benci di saat dia sendirian, di saat dia di marahi, di saat dia di siksa, tak ada seorangpun yang menemani nya, Ara benci situasi ini, situasi dimana dia terlihat sangat rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionAku suka itu Rintik yang jatuh menyatu dengan harum tanah yang basah Rintik yang turun bersamaan dengan air sebening kristal Keluar tanpa permisi membuat tangisan ini seolah terisak dengan sakti Dimana diri ini tak bisa untuk ku ajak berkompro...