127 16 17
                                    

—◊ÖcëäN HëäRt◊—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—◊ÖcëäN HëäRt◊—

Seorang gadis dengan rambut cokelat bergelombang layaknya ombak kecil di tengah laut. Jemari kakinya menggerus permukaan bumi dengan lihai. Kedua tangannya digerakkan secara abstrak, tetapi cukup untuk menimbulkan pergerakan abnormal dari hamparan air pada bibir pantai. Padahal senja sudah hampir mengurung cakrawala. Gadis itu masih saja belum beranjak dari kegiatannya.

“Pristis Oceana Poseidon.”

Mendengar namanya dipanggil, gadis dengan iris biru laut itu menoleh. Ia menegapkan tubuhnya di hadapan pria dengan trisula. Sesekali ia diterpa angin, membuat wajahnya tertutupi oleh beberapa helai rambutnya. Sang gadis menaikkan kedua sudut bibirnya, berusaha menciptakan atmosfer yang tidak terlalu tegang.

“How do you know me?”

Pria itu lantas mengembuskan napasnya. “What do you mean?”

“Bagaimana kau bisa tahu di mana aku?” Gadis itu menundukkan kepalanya sedikit, “padahal sudah tiga belas tahun kami menunggumu. Aku sudah sangat hampir putus asa bahwa ....” Ia menutup mulutnya, ketika pria itu menatap netranya lurus.

“Go on, I will hear everything.”

Pristis berusaha mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin. Harapnya, semoga saja ia tidak tersendat-sendat saat menjelaskan semuanya. “Ku-kukira kau sudah tidak peduli pada kami ...,” Pristis menjeda kalimatnya, “... jadi aku harus memanggilmu apa?”

Pria itu bergeming. Padahal, ia sedang menahan dirinya untuk tidak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Terserah padamu.”

Walau ia menjawab seperti itu, bukankah sudah jelas bahwa Pristis harus memanggilnya 'Ayah'?

“Ok, Dad.”

Pria itu akhirnya sadar, betapa drastisnya kehidupan miliknya akan berubah setelah kedatangan Pristis. Terlebih saat ia pertama kali mendengar julukan itu tertuju padanya. Ia menarik sedikit sudut bibirnya, tetapi itu tetap tidak berhasil membuatnya tampak seperti orang yang sedang tersenyum.

Untung saja, ombak laut mewakili perasaannya.

“Dad, may I ask you something, before we go back to our cabin?” Lantas, pria itu mengangguk.

“Em ... apa ada sesuatu yang ... tidak kau suka dariku?”

Mau tidak mau, pria itu kembali menoleh pada Pristis. Hatinya sempat kalut saat itu. Pertanyaan yang bersifat subjektif itu sukses membuatnya bingung.

“No, I guess?” Pria itu akhirnya menjawab, “but we'll find out soon untuk melihat perkembanganmu selama di Olympus Camp ini.”

Pristis menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maksudku bukan itu, Dad. Not as demigod,” Pristis menampakkan deret gigi putihnya, “but as your daughter.”

Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian, suara deburan ombak kembali menjajah dirinya, seolah membisikkan kalimat, yang akhirnya terlontar di mulutnya. “No.”

Because I am the only one here that should be asking that to you, right?

—◊ÖcëäN HëäRt◊—

Ocean's Heart [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang