91 14 27
                                    

“Argh!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Argh!”

Suara pekikan itu mengalihkan perhatiannya, yang masih sibuk berkutat dengan pikirannya sedari tadi. Alisnya saling bertautan. “Ada apa?”

Akan tetapi, gadis itu tak menjawab. Wajahnya memerah, terdapat banyak kerutan di dahi dan pipinya, kedua matanya ia pejamkan secara erat. Sekali lagi, pria itu membuka mulutnya.

“Ada a—"

“Did you even care?”

Belum selesai kalimatnya terlontar, gadis itu sudah menyeruduknya secara tersirat. Dadanya kini terasa berdenyut. Tanpa sadar, ia mengacaukan dinamika ombak, yang semula tenang, menjadi liar.

“Apa maksudmu?”

Tidak. Ia tidak boleh kalap. Olympus bisa terendam penuh, jika ia tidak mengendalikan amarahnya. Berkali-kali ia coba mengatur napas agar emosinya meredam.

“I didn't think you'd care,” Pristis mengembuskan napasnya kasar, “because all of this time, you didn't care.”

Gadis itu kini menatap tajam manik pria, yang sedang melayangkan tatapan datar padanya. Rahangnya hampir saja bergemelatuk. Kepalan tangannya sudah mengencang. Ia menunggu gadis itu menyelesaikan kalimatnya.

“Zeus was right.”

Pikiran pria itu semakin tertutupi oleh ego dan emosinya. Isi dalam kepalanya sudah tercampur aduk. Dadanya terasa sesak. Selama ini dia tidak peduli?

Lantas, untuk apa ia membawanya kemari?

“Zeus berkata demikian? Bahwa aku tidak pernah peduli padamu? Seriously?”

Tanpa sadar, oktafnya sedikit meninggi. Pria itu tidak bermaksud untuk memarahi gadis itu, tetapi kedua matanya sudah terlanjur basah oleh genangan air pada kelopak matanya. Lama-kelamaan, cairan bening itu lolos dan membasahi pipi serta dagunya. Bahunya bergetar hebat. Suara sesenggukan yang semakin kencang itu membuatnya berjalan mendekat.

“I-I'm sorry, I didn't mean to ....”

Bahkan pria itu tak mengerti harus merespons bagaimana. Ia masih sibuk memutar otak untuk berpikir jernih, menghalau semua pikiran negatif dari cerobong asap yang berkarat. “You're tired, I know.”

“I'm crying and that's stupid. I'm really sorry, Dad. I didn't mean that,” Pristis masih saja sesenggukan, “I love you, really.”

Sejenak, pria itu tak berkedip, bernapas sekalipun. Ia akhirnya mengerti. Kedua lengannya pun mulai merengkuh tubuh gadis itu.

“You have a pure heart, that's why you're crying,” Poseidon dapat merasakan hangat di dadanya, “and let me tell you something ....” Pria itu mengarahkan jarinya untuk menghapus air mata Pristis.

“I love you too, Dear.”

—◊ÖcëäN HëäRt◊—

BONUS SCENE 🌊 :

“Kukira kau membenciku.” Mendengar kalimat itu, Poseidon mengernyitkan dahinya.

“How could I hate my only daughter?”

—◊ÖcëäN HëäRt◊—

Ocean's Heart [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang