"People come and go. Kalo dia come lagi, tendang aja pantatnya biar tau rasa."
Callista Azkira, 21 th. Mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi 2020.
———
03.02 tengah malam
Katanya, waktu yang baik untuk belajar adalah pada pagi hari sekitar pukul 10 hingga pukul 2 siang, juga pada sore hari dari pukul 4 hingga pukul 7 malam. Namun, ternyata hal tersebut tidak berpengaruh banyak bagi Callista. Pada pagi hari, entah mengapa ia selalu mengantuk. Begitu juga pada sore hari, menurutnya waktu tersebut adalah waktu yang tepat untuk melamun. Jadi, sepertinya dia tidak memiliki waktu efektif untuk belajar seperti orang lain. Sehingga, ia menggunakan waktu tengah malam, saat orang lain terlelap, untuk mengerjakan skripsinya.
Saat jari-jarinya mengetuk papan keyboard di laptopnya, suara ketukan pintu terdengar di belakangnya. Setelahnya, tanpa menunggu dibukakan pintu, seseorang sudah melongokkan kepala.
"Ca? Begadang lagi?" tanya Mama. Ia melangkah menuju tempat Callista duduk. Laptop dengan pencahayaan yang sepertinya akan membuat mata rusak itu terbuka lebar di depan putrinya.
Callista menoleh sesaat, sebelum akhirnya memfokuskan pandangan ke arah laptopnya lagi. "Nanggung, Ma. Bab 3 aku tinggal beberapa paragraf lagi," jawabnya skeptis.
Mama menggelengkan kepala. Sangat tidak suka dengan kebiasaan putrinya itu. Malam digunakan untuk mengerjakan skripsi, pagi langsung konsul, dan sore hingga magrib malah tertidur karena kecapekan. Padahal, ia sudah mewanti-wantinya bahwa nggak baik tidur sore. Tidur sore katanya dapat menyebabkan banyak penyakit bagi tubuh dan memberikan dampak buruk bagi diri seperti menimbulkan rasa malas. Tapi gadis dengan piama minion di depannya ini amat sangat keras kepala.
"Tidur, gih. Besok kan harus bangun pagi-pagi," ujar Mama memperingati.
"Mau ke mana emang pagi-pagi? Besok hari minggu, aku mau tidur sampe sore." Callista berujar tanpa menatap Mamanya.
Wanita yang masih terlihat segar di usia empat puluhan itu berdecak. Lantas menepuk punggung putri semata wayangnya dengan gemas. "Katanya kamu mau puasa di rumah Oma. Masa mau balik kampung cuma bawa tangan kosong?"
Callista sontak menghentikan aktifitasnya, lalu menoleh dengan dramatis ke arah Mama. "Beneran jadi ke rumah Oma?!" serunya dengan semangat yang ntah datang dari mana.
Mama mengangguk sebagai jawaban, mengetahui betapa antusiasnya Callista setiap kali membicarakan tempat kelahiran Papanya. Terakhir kali ia mengunjungi kampung berudara segar dan bebas polusi itu sekitar empat belas tahun lalu, saat pertama kali masuk Sekolah Dasar. Sejak itu, hanya Oma yang mengunjungi mereka. Namun, karena kondisi kesehatan Oma yang memburuk, kunjungan beliau menjadi jarang. Ditambah lagi, Papa selalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Tapi, Ca. Mama sama Papa kayanya gak bisa di sana sampe lebaran. Palingan bisanya di hari pertama sama kedua puasa doang. Soalnya Papa udah sibuk lagi," jelas Mama, membuat bahu Callista merosot.
"Padahal aku mau nyoba sebulan full di sana. Kangen banget sama suasana kampung tenang, gak ada godaan duniawi yang bakal nguras emosi kaya di sini," desahnya. Semangatnya yang tadi luruh seketika. Wajahnya tambah kusut.
"Makanya sana tidur. Besok lanjut lagi. Nanti Mama izinin ke Papa biar kamu aja yang diem jagain Oma," putus Mama, membuat gadis itu mengangguk lesu.
Dengan perasaan tidak rela, ia mematikan laptopnya. Kemudian, ia beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sementara itu, Mama memadamkan lampu dan meninggalkan kamar putrinya, ia juga tidak lupa menutup pintu berwarna putih tulang tersebut.
***
"Boleh ke toko buku sebentar nggak?" Callista dengan stroller belanjaan yang siap didorong menuju kasir itu menoleh ke arah Papa. Menatap penuh harap pada lelaki paruh baya yang sedari tadi berjalan di belakangnya dan Mama.
"Ngapain?" Mama yang berjalan lebih dulu menoleh, mendahului sang suami yang hendak menganggukkan kepalanya.
Alis Callista terangkat sebelah, "Ya ... beli buku? Ngapain lagi emang, Ma?"
"Buat skripsi apa novel lagi?" Papa menyahuti.
Kini mereka sudah berada di antrean paling belakang di depan kasir. Menunggu giliran membayar beberapa kebutuhan pokok Oma dan oleh-oleh yang akan dibawanya ke kampung halaman Papa.
"Kalo skripsi aku bisa buka jurnal. Novel lagi boleh gak, Pa?" Mata gadis itu berpendar cemerlang, menatap penuh harap. "Aku nanti sebulan loh di sana. Terus kalo nunggu buka, pasti bosen. Jadi palingan biar nggak suntuk banget, aku bisa baca buku. Boleh yaa?" rengeknya sembari menatap bergantian ke arah dua orang di sampingnya.
Iya, pada akhirnya setelah Mama membujuk Papa, gadis berpashmina pink dengan rok plisket floral itu dibolehkan untuk menetap di rumah Oma hingga lebaran. Tetapi, dengan catatan skripsinya harus tetap di kerjakan agar bisa menyusul seminar sehabis lebaran.
"Ngerjain skripsi kan bisa," Mama di samping kanannya menyahuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Cinta Callista #Ramadhanseries
SpiritualBismillah... Di saat takdir mulai mempertemukan Caca dengan masa depannya, masa lalu justru datang mengacaukan segalanya. Caca yang harus mencintai dalam diam terseret dalam konflik percintaan antara dirinya, Rama dan Cinta. Ditambah kehadiran Ikram...