Serat serat tipis yang menyelinap masuk dari balik jendela yang sedikit terbuka gordennya, tampak usil mengusik pemuda yang masih terlelap damai dalam tidurnya. Pemuda yang dianugrahi wajah tampan itu menggeliat tak nyaman. Terganggu oleh sinar siang yang menyorot tepat dipermukaan wajahnya yang masih tampak menyimpan rona pucat. Ia mengubah posisinya menyamping kekiri membelakangi serangan sinar matahari.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Ia merasa tidak bisa terus melanjutkan mimpinya yang terasa indah. Entahlah, perasaannya mengatakan kalau saat ini ia tengah diperhatikan oleh seseorang. Perlahan ia membuka matanya yang seperti telah direkat oleh lem super lengket. Ia merasa begitu berat untuk membuka matanya. Namun, telanjur penasaran akhirnya mata itu terbuka juga dan dengan jelas melihat sosok pemuda tengah terbaring disampingnya. Menatapnya dengan raut wajah berbinar.
"Ryo-chan...daijoubu?" Yuri menatap mata Ryosuke yang masih tampak sayu. Dibalik bola mata hitam itu tersorot ketidak percayaan. Yuri membiarkan matanya beradu dengan mata Ryosuke. Meyakinkan saudara kembarnya kalau apa yang baru saja ia lafalkan itu benar benar tulus dari dalam hati.
Yuri tidak tau kenapa saat ia hangun ia menemukan dirinya tidur disamping Ryosuke. Yang pasti ia yakin kalau ia tidak tidur sambil berjalan dn pindah tidur kekamar kakak keduanya itu. Karna ia masih ingat kalau semalam penyakitnya kambuh hingga ia kehilangan kesadarannya. Mungkin itu kerjaan Yuto yang sengaja melakukannya agar ia lebih mudah mengurus mereka yang entah mengapa bisa kompakan sakit seperti sekarang.
Kasian Yuto harus bolak balik antara kamar Yuri dan Ryosuke jika ia menempatkan kedua adiknya itu dikamarnya masing masing. Faktanya ia cukup repot dan juga kelelahan hingga sampai saat itu ini ia masih tidur lelap disalah satu sofa dikamar Ryosuke. Yuto pasti sudah bekerja keras semalaman.
"Mimpi memang jauh lebih indah. Tapi kalau ini bukan mimpi kau tau?-" Ryosuke kembali menutup matanya. Ia masih berpikir kalau keberadaan Yuri disampingnya itu hanya sebatas mimpi.
"Yuri, aku begitu ingin seperti dirinya." dan Ryosuke kembali melelapkan dirinya dalam bunga tidurnya.
"Ya! Ryo-chan....kau jangan tidur lagi!' Yuri mengguncang tubuh Ryosuke dengan agak keras. Ryosuke masih tidak terusik dan kembali bermain dengan fantasi dalam tidurnya.
" kau tidur lama sekali hingga aku berpikir kau itu mati. Aku begitu takut kehilanganmu Ni-chan...." Yuri melirih panjang.
Yuri bangun lebih dulu dari Ryosuke dan Yuto. Ia terpaksa membuka matanya karna sakit didadanya mengganggunya. Tidak separah semalam, tapi tetap saja itu sungguh mengganggu dan membuat ia tidak bisa memejamkan mata kembali. Alhasil, ia memilih untuk tetap berjaga dan mengamati Ryosuke yang terlelap disampingnya.
Ia ingat, kalau ryosuke pingsan lebih dulu darinya dan ia tidak tau kenapa saudara kembarnya itu tidak membuka mata lebih dulu darinya juga. Hingga berbagai kemungkinan berdesak desak dikepalanya. Ia pikir ada yang tidak beres dengan ryosuke. Apa yang terjadi denganmu huh? Kau ini tidur, pingsan, koma atau mati? Yuri menggeleng cepat. Ia benar benar cemas. Aura negatif mulai menyebar luas disekitarnya. Ia takut ryosuke benar benar tidak membuka matanya lagi. Dan ia mulai mengikhrarkan janji yang tidak tertulis.
Kalau ryosuke bangun, ia berjanji kalau ia akan menghapus kecanggungan dan spasi yang tengah tercipta diantara mereka lebih dulu. Ia janji akan menjadi adik yang baik untuk ryosuke. Ia berjanji akan memanggil ryosuke dengan panggilan nisan. Ia tidak apa apa jika yuto nisan tidak memperhatikannya lagi dan menyerahkan seluruh sayangnya pada ryosuke. Ia tidak akan memikirkan egonya lagi. Kata kata yuto nisannya semalam, semakin meyakinkan dirinya.
"Nisan...wake up! Yak! Ryo nisan! Bangunlah...onegai!"
Namun nampaknya ryosuke tidak terusik sama sekali dengan jeritan dan guncangan kasar yang yuri ciptakan. Dan itu membuat yuri panik. Ada apa dengan ryosuke? Dadanya berdebar hingga sesak. Airmatanya meluncur begitu saja.
"Nisan...bangun! Jangan seperti ini, aku takut..."
Yuto yang mendengar teriakan teriakan tidak jelas akhirnya terbangun. Sebentar ia menatap yuri dengan bingung.
"Kenapa kau berteriak dipagi seperto ini yuri? Kau butuh sesuatu?" tanya yuto. Ia mengucek matanya sebentar.
"Nisan, bagaimana kalau ryochan mati lebih dulu meninggalkanku?"
"Nani?!"
&&&&&&&&
"Iie! Okasan, otousan! Onegai... Aku tidak mau..'
"Aku takut. Jangan paksa aku..."
"Jangan lakukan ini padaku. Aku mohon..."
Okasan....otousan....."
"Tolong, aku takut sekali."
"Nisan, kau dimana? Bantu aku!"
"Hiks..."Pemuda itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Potongan masalalu itu tiba tiba hadir dalam mimpinya. Bagai rol filem yang sengaja diputar kembali untuk mengingat kenangan yang terburuk yang selama ini berusaha dilupakannya. Dadanya tiba tiba saja terasa begitu sesak. Seperti dihimpit berton ton beban. Ia menangis dalam tidurnya. Airmata bercampur dengan keringat dingin yang berlomba keluar dari pori pori tubuhnya.
"TIDAK...!!!!"
Mata itu terbuka bersamaan tubuhnya yang refleks terduduk sempurna diranjang berseprei putih itu. Kesunyian yang menguasai ruangan pucat itu seketika pecah oleh deru nafas cepat pemuda berbaju pasien rumah sakit itu. Dan mengusik tidur lelap kedua pemuda yang sejak tadi menjadi penghuni lain ruang beraroma obat obatan kimia itu.
"Ryo nisan..." yuri yang sejak tadi tertidur dikursi samping ranjang ryosuke, sontak berdiri disamping ranjang ryosuke dan meraih pundak ryosuke. Yuto yang tertidur disalah satu sopa ruang rawat itu bergegas mendekati kedua adiknya itu. Ryosuke sendiri masih sibuk menstabilkan syaraf syaraf tubuhnya yang tiba tiba saja menegang.
"Nande?" tanya yuri cemas. Ryosuke tak merespon pertanyaan yuri. Ia memilih mengamati keadaan ruangan yang menjadi tempatnya saat ini. Ia tidak ingat apapun selain senyum ryosuke yang terlontar begitu tulus untuknya-tentu dalam benak- hanya sebuah mimpi. Selain itu dia tak ingat apapun selain kegelapan yang menguasai penglihatannya. Dan yang kemudian berakhir dengan mimpi buruknya barusan.
"Kau dirumah sakit, nisan...." yuri kembali bersuara, mencoba mencuri perhatian ryosuke yang sejak tadi terlihat tidak mengindahkan kehadirannya. Ryosuke seolah tidak melihatnya dan malah sibuk menatapi yuto yang masih terpaku bingung ditempatnya. Harusnya ryosuke menatapnya lebih dulu.
"Nisan, kenapa aku ada disini?" ryosuke menuntut jawaban dri yuto. Pemuda yang biasanya terlihat kuat itu terlihat lemah saat ini. Sorot takut dan gelisah terpancar dari bola mata hitamnya yang tampak sayu.
Yuto menarik nafas dalam. Ryosuke benar benar tidak tau kalau sejal pagi, tepatnya sejak kemarin kesadarannya ditarik ulur tak jelas. Yuri bahkan sempat berteriak histeris mengira ryosukenya telah meninggal. Dan tadi pagi kepanikan yuri menular pada yuto saat kakak kedua saudara kembar itu merasa suhu badaan ryosuke kembali panas. Padahal semalam demamnya sudah mulai reda. Yuto kembali menghubungi hikaru dan berakhirlah dengan membawa ryosuke kerumah sakit,mengingat adik pertamanya itu tak juga sadarkan diri hingga siang hari.
"Nisan, apa ada yang sakit?" yuri mencengkram bahu ryosuke lebih erat. Ia yang paling panik sejak tadi. Ia bahkan rela menahan sakit didadnya hanya untuk memastikan kondisi saudara kembarnya itu baik baik saja.
"Bawa aku pulang, nisan! Aku takut. Aku mau pulang...." ryosuke kembali melirih mengeratkan pelukannya seolah melarang yuto membantu yuri. Biarlah sekali saja dia bersikap egois, sekali saja ia ingin mendapat perhatian lebih dari yuto. Sekali ini saja ia tidak ingin hanya yuri yang jadi pusat perhatian. Pemuda berambut hitam itu berinsut meninggalkan ruangan dengan segala nyeri yang kembali bermain main dengan jantungnya. Diperparah dengan perih dihatinya yang baru saja tergurat sempurna. Niatnya untuk menghapus jarak yang tiba tiba menciut begitu saja.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Wind Story (End)
FanfictionDulu...ia selalu mengatakan hal itu. Saat salju pertama turun, ryosuke akan menemui yuri. Menggenggam tangannya dan berbagi kehangatan untuk adiknya itu... Cerita ini hanya fiktif belaka. Disclaimer milik HSJ and other. Jika ada kesamaan nama tokoh...