"Yuri, daijoubu desu ka?" Yuto melirik Yuri sekilas sebelum kembali fokus pada kemudinya. Yuri saat ini duduk dijok belakang bersama Ryosuke yang masih tak sadarkan diri, hanya menggangguk singkat.
"Daijuobu, Ni-chan! Fokuslah menyetir, jangan banyak menengok kebelakang. Aku lebih suka mati dalam damai karna komplikasi jantung dan paru paruku daripada mati penasaran karna kecelakaan." sarkas Yuri. Ia merasa risih dengan aksi ceroboh kakaknya yang berkali kali menengok kebelakang hanya untuk memastikan dia baik baik saja.
Yuto bergidik ngeri mendengar kata kata Yuri. Padahal beberapa jam yang lalu ia bilang Yuto Ni-chan adalah kakak terbaik yang ia miliki. Tapi bagaimana dia bisa bicara sepedas itu padaku? Aisshh...kau hanya membual Yabu Yuri! Lagi pula, siapa yang bisa menggantikan Ryosuke dalam hatimu huh? Aku memang kakak pertama dalam keluarga kita. Tapi Ryosuke tetaplah kakak juara pertama dihatimu. Yuto mendumel dalam hati. Dan keduanya mulai diam. Hanya bunyi bising keramaian kota yang dibiarkan menguasai keheningan diantara mereka. Yuto memilih untuk memperhatikan Yuri dari kaca spion. Adiknya yang saat ini menyandang gelar siswa kelas dua high school itu tampak sedang menatapi Ryosuke yang masih terpejam disampingnya,. Ia mengeryit melihat wajah pucat itu.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Yuri?" tanya Yuto tanpa mengalihkan fokus kemudinya.
Yuri menatap belakang kepala Yuto.
"Sebenarnya sejak pagi, aku ingin bilang kalau Ryo-chan sakit, Nii-chan." Yuri terdiam setelahnya. Kalimatnya menyadarkan dirinya akan satu hal. Apa terjadi sesuatu denganmu saat aku kumat tadi? Ia melirik Ryosuke kembali. Wajahnya terlihat teduh membuatnya lupa kalau kakaknya itu sedang pingsan. Bukan tidur biasa. Yuri mulai berspekulasi kalau Ryosuke benar benar tidak meninggalkannya tadi. Pasti terjadi sesuatu hingga membuat Ryosuke pergi meninggalkannya begitu saja. Bagaimanapun juga, meski jarak mereka cukup renggang selama beberapa tahun ini, Ryosuke tidak akan meninggalkannya saat ia berada dalam kondisi terburuk."Nande? Kenapa kau tak bilang huh?"
Yuto menepikan mobilnya dan segera berbalik untuk menengok kearah Ryosuke. Sebelum akhirnya menatap Yuri meminta penjelasan."Barusan aku bilang Ni-chan..."
"Maksudku sejak awal, bakka!"
"Kukira Ni-chan itu mempunyai perasaan yang cukup peka." ketus Yuri memalingkan mukanya kearah Ryosuke.
"Kau menyedihkan Ni-chan!" dalam satu gerakan Yuri menyentuh kening Ryosuke. Yuto yang melihatnya hanya mengeryit, tidak tau kata menyedihkan yang Yuri maksud itu tertuju untuk siapa sebenarnya. Entah itu dirinya atau Ryosuke. Ia memperhatikan Yuri yang masih memeriksa suhu tubuh Ryosuke dengan rinci. Seketika senyumnya melebar. Itu hal yang tidak pernah dilihatnya selama beberapa tahun ini.
"Kenapa Yuto Ni-chan diam saja, huh? Badan Ryo-chan terasa begitu panas dan dia harus segera diobati. Cepat jalankan mobilnya!" sungut Yuri kesal. Buru buru ia menarik tangannya. Semuanya terasa refleks begitu saja. Sekian lama Yuto tidak melihat Yuri dan Ryosuke saling sentuh. Jadi wajar jika yang barusan membuat Yuto tersenyum bahagia. Ternyata Yuya benar, meski mereka terlihat jaug dan saling diam dalam hati mereka tetap sayang dan saling memperhatikan.
"Ah, yabai, kau ini pemarah sekali. Itu tidak baik untuk jantungmu. Kau harusnya bisa lebih santai seperti nisan kesayanganmu itu!" Yuto mulai membalik badannya setelah sebelumnya menunjuk Ryosuke dengan dagunya. Lantas segera memacu mobilnya. Tidak memperdulikan Yuri yang menggerutu karna ejekannya. Entah mengapa ia begitu bahagia melihat aksi Yuri menyentuh Ryosuke tadi. Meski hanya hal kecil. Tapi itu cukup menjadi bukti nyata kalau dalam hati mereka tidak benar benar ada rasa benci.
......
"Yuri...." Yuto menghempaskan tubuhnya kesamping Yuri masih asik dengan game diponselnya.
"Ya," respon Yuri singkat tampa menoleh sedikitpun kearah Yuto. Ia tidak begitu suka diganggu ketika sedang ngedate dengan gamenya itu.
Yuto menarik nafas panjang. Satu setengah jam yang lalu mereka sampai dirumah dan baru saja Hikaru sensei memeriksa keadaan Ryosuke. Demam Ryosuke benar benar tinggi. Sampai sekarang ia bahkan belum sadarkan diri. Yuto benar benar cemas. Dan ia tak tau kenapa Yuri masih terlihat santai dengan gamenya. Apa adiknya itu benar benar menuruti kata katanya untuk bersantai seperti Ryosuke? Aisshh, maksudnya bukan seperti itu juga.
"Yuri....kakak kesayanganmu sedang sakit dan kau te-"
"Dia bukan kakak kesayanganku. Aisshh...!" Yuri menghentikan permainannya dan menatap Yuto sengit.
"Kenapa? Kau mau bilang aku kakak kesayanganmu hm? Tidak ada adik yang bicara sekasar kau pada kakak kesayangannya." Yuto menyandarkan punggungnya lebih dalam kepinggung sofa. Ia merasa begitu lelah hari ini. Dipejamkannya matanya, mencoba membuat rileks seluruh anggota tubuhnya.
"Aku tidak bilang kau kakak kesayanganku." Yuri berujar sebal. Ia kembali fokus pada gamenya. Tidak ada gunanya meladeni kakaknya itu.
"Domo, aku tidak berharap untuk itu juga. Aku sadar selama ini aku bukan kakak yang baik untukmu juga Ryosuke. Gomenne!" Yuto kembali membuka matanya. Ditatapnya langit langit putih ruang keluarga itu dengan tatapan hampa.
"Yuri....apa sebenarnya yang terjadi huh?"
Yuri menoleh kearah yuto yang masih belum mengalihkan tatapnya. "Nande? Aku sudah menceritakannya padamu, Ni-chan Apa kau tidak bisa merespon dengan baik sehingga aku harus mengulang beberapa kali? Ryo-chan sakit dan kau tidak peka. Aku mengikuti pelajaran olahraga untuk memastikan dia baik baik saja. Tapi ternyata malah aku yang kumat. Dan disaat aku kambuh, Ryo-chan malah berlari meninggalkanku padahal aku benar benar kesakitan. Itu adalah kejadian yang sebenarnya kenapa aku begitu membencinya."
"Iie, tidak, Yuri. Bukan kejadian itu. Tapi kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian sebenarnya kenapa kau dan Ryo-chan jadi serenggang ini? Onegai, beritau nisan ada apa sebenarnya..." Yuto merubah posisinya dan menatap Yuri penuh harap. Ia benar benar berharap Yuri mau berbaik hati meringankan beban hatinya selama ini.
Yuri tertegun. Ditatapnya wajah kakaknya itu dengan seksama. Ia ingin saja memberitau kakaknya itu. Ia juga sudah tidak tahan dengan beban perasaan canggung yang selama ini ia tanggung sendiri. Namun ia menggeleng. Ia terlalu mau untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi hingga sekat pemisah antara ia dan saudara kembarnya itu semakin tumbuh kokoh menghalangi mereka. Mungkin awalnya terasa konyol, namun semakin mereka tumbuh semuanya semakin terasa begitu rumit. Tentu itu hanya dalam pemikiran Yuri saja.
"Yuri...." panggil Yuto membuyarkan lamunan Yuri.
"Onegai....kau tidak tau kalau setiap hari melihat kalian diam seperti ini membuatku seperti mati setiap harinya. Kalian seperti telah meninggalkanku begitu jauh. Dan aku merasa mati itu sendiri jauh lebih baik, deshou...?"
Yuri menatap lekat wajah memelas kakaknya itu dengan prihatin. Ia mengerti bagaimana perasaan Yuto. Karna sesungguhnya iapun merasakan hal yang sama. Selama ini ia merasa setiap hari yang yang ia lalui adalah musim dingin dengan minus nol derjat. Begitu dingin. Dan setiap detik yang dia lewati ia merasa rasa dingin itu menusuk nusuk sadis relung hatinya. Rasanya begitu menyesakkan hingga Yuri pun merasa keegoisan dan kesepian itu memang telah membunuhnya lebih dulu ketimbang penyakit yang bersarang ditubuhnya sejak ia lahir. Mengingat hal itu, perasaannya berantakan. Ia tidak ingin melewati detik detik terakhir dalam hidupnya tampa Ryosuke disisinya. Tidak, ia benar benar tidak bisa membayangkan seberapa menyedihkan tubuh lemahnya itu jika hal itu terjadi. Yuri menggeleng gelengkan kepala membayangkan hal itu. Ia tidak ingin hanya karna masalah sepele ia akan menanggung beban yang begitu berat disisa hidupnya. Sebentar ia menarik nafas dalam dan memandang Yuto yang masih setia menunggu jawaban dari dirinya.
"Sebenarnya ini sedikit konyol Ni-chan..."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Wind Story (End)
Fiksi PenggemarDulu...ia selalu mengatakan hal itu. Saat salju pertama turun, ryosuke akan menemui yuri. Menggenggam tangannya dan berbagi kehangatan untuk adiknya itu... Cerita ini hanya fiktif belaka. Disclaimer milik HSJ and other. Jika ada kesamaan nama tokoh...