Dua

69 6 1
                                    

Pernahkah kamu berpikir lebih dalam lagi tentang cara bekerja sang waktu?

Bagaimana ia dapat mengendalikan segala kerja alam semesta?

Biarkan aku bertanya satu hal lagi yang sederhana; bagaimana caranya cinta pertama bekerja?

Katanya, cinta pertama susah dilupakan. Katanya, cinta pertama atmosfernya lebih beda. Katanya, cinta pertama memiliki cinta yang lebih kuat.

Bukankah cinta pertama terkesan klise?

Sepasang mata bola hitam lelaki bertubuh tinggi itu memandang seorang gadis tengah membaca buku dengan kacamatanya yang terpasang di depan kedua matanya. Ranu salah, perasaannya tidak benar. Tidak seharusnya ia memikirkan gadis itu yang bahkan pertemuannya bisa dihitung dengan jari.

Ya, hanya dua kali di satu hari. Pertemuan singkat, namun Ranu merasa tertarik dengan kedua bola mata gadis itu.

Ranu memikir ulang, ia bukan tipikal orang yang langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Di kamus dalam kehidupannya, tidak ada istilah cinta pada pandangan pertama. Menurutnya cinta harus didasari dengan bagaimana kedua orang saling mengenal satu sama lain. Tapi, apakah ia sendiri percaya akan itu?

Daripada memikirkan hal yang tak ada untungnya, Ranu masuk lebih dalam lagi. Aroma buku mulai memasuki kedua lubang hidungnya. Ia berjalan menelusuri rak yang berjejer rapi. Matanya tak melewatkan satu judul pun buku di sana.

Toko buku seperti surganya, ia ingin membeli semua buku yang tersedia di sana. Aroma buku benar-benar membuatnya mabuk. Ia seakan lupa tentang dunia luar. Namun, ia harus tetap fokus mencari buku yang ia butuhkan. Bahkan sampai saat ini ia belum ada ide baru menyusun proposalnya.

Matanya tertuju pada satu buku tebal. Covernya berwarna cokelat gelap. Di depan cover bertuliskan 'Melampaui Filsafat' diketik dengan ukuran besar. Ia mengeluarkan buku tersebut dari rak. Rasa penasarannya jauh lebih besar. Seolah-olah disana ia akan mendapatkan jawaban.

"Berbicara tentang filsafat gak akan pernah selesai deh. Sekalinya baca, kamu akan keterusan. Kayak ada mantra sihirnya"

Kedatangan suara perempuan itu membuat Ranu terlonjak kaget. Anna terkekeh. Ia tidak menyadari jika Anna sudah berdiri di sebelahnya, bahkan sejak kedatangannya sejak awal. Ah, Ranu sering kali lupa daratan.

"Jika kamu punya banyak pertanyaan yang rasional, mungkin filsafat punya jawabannya,"

"Bagaimana kamu tahu?"

Anna tersenyum. "Aku suka filsafat loh, walaupun gak pernah mendalami"

"Penasaran sih, tapi aku orangnya pemalas", lanjutnya.

"Kalau begitu, bukunya lebih cocok buat kamu yang pemalas." cibir Ranu yang sengaja menekankan kata 'pemalas'.

Pemalas bukan penyakit, melainkan kebiasaan buruk. Begitu pemikiran Ranu.

Anna terkekeh kecil hingga memperlihatkan barisan gigi putihnya. Sedangkan, Ranu kembali menyimpan buku tebal itu. Saat ini bukan waktunya yang tepat untuk membaca tentang dunia filosofis. Meskipun penasaran, mungkin lainkali setelah selesai dengan skripsinya ia akan kembali. Kecuali, buku itu sudah tidak ada di tempat.

"Tapi kurasa kamu lebih membutuhkannya, Ranu. Biar kamu paham, mengapa dunia tampak tak adil? Mengapa ada saja orang-orang yang kurang beruntung? Apa alasan manusia, dan kamu lahir? Alasan mengapa Tuhan memberi manusia otak untuk berfikir? Bagaimana caranya otak bekerja disaat manusia tak menginginkannya? Bukankah manusia berhak mempunyai mimpi? Mimpi yang seharusnya tidak ada menjadi ada. Kenapa harus menghindar dari bayangan mimpi padahal kamu tahu bayangan bisa saja menjadi hal yang nyata?"

When the Wind Blows Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang