Bram memarkir mobilnya sembarangan lalu melompat keluar begitu mobil itu berhenti. Tak peduli guyuran hujan yang tanpa ampun menerjang tubuh tingginya, laki-laki itu berlari menaiki anak tangga. Tersenggal, karena tangis dan sesak di dada yang sejak tadi tak henti menyiksa. Matanya nyalang saat memasuki kompleks pemakaman yang disebutkan Adrian, lalu tertumbuk pada sebuah nisan, yang masih nampak dihiasi banyak bunga.
Langkahnya yang tadi cepat menyurut seketika. Perlahan, laki-laki itu mendekat. Dadanya berdegup kian cepat, dan seketika, saat melihat raut wajah tersenyum yang terpampang di foto berbingkai yang masih terpasang di sana, tubuh laki-laki itu ambruk.
"Tidak," desisnya dengan air mata yang kembali mengaliri pipi pucatnya. "Tidak boleh, kau tidak boleh pergi," laki-laki itu menggeleng berulang kali. Tangannya terulur, membelai wajah yang tetap tersenyum manis di depannya. "Aku sudah pulang. Aku sudah disini, jangan seperti ini, kumohon, jangan meninggalkanku seperti ini. Vanya, Vanya, VANYAAAA!"
Tak tahan lagi, Bram meraih bingkai foto itu dan mendekapnya erat. Matanya nyalang ke arah nisan yang terukirkan nama belahan jiwanya di sana. VANYA KIRANA.
Bram merangkak mendekat. Sebelah lengannya masih mendekap foto Vanya. Begitu sampai di samping nisan, laki-laki itu kembali tersungkur.
Nyonya Vanya kecelakaan. Kondisinya tidak baik. Dia, koma.
Berita yang diberikan Adrian kemarin membuatnya langsung berlari ke bandara bahkan tanpa sempat mengemas pakaian sama sekali. Tidak dipedulikannya Marsha yang bertanya keheranan melihat wajah paniknya. Dalam pikirannya hanya satu.
Vanya.
Namun dia terlambat.
Vanya meninggal saat pesawatnya baru saja take off. Perjalanan dari London ke Jakarta menjadi perjalanan paling lama dan paling menyakitkan dalam hidupnya. Lebih menyakitkan daripada saat ia terpaksa pergi meninggalkan belahan jiwanya itu dua tahun yang lalu karena terpaksa harus menikahi Marsha dan akhirnya pergi ke London untuk menangani cabang perusahaan Brotosuseno Prima di sana.
Sepanjang perjalanan Bram menangis. Sebagian dari dirinya menolak dengan keras berita yang baru disampaikan Adrian.
Tidak benar! Vanya, dia baik-baik saja. Vanya baik-baik saja!
Namun kini, nisan itu sudah menjadi bukti, bahwa belahan jiwanya sudah pergi. Meninggalkannya sendirian dalam penyesalan yang teramat dalam.
Dipeluknya nisan itu dengan tangis yang semakin keras. Bram tak peduli lagi jika saat itu ada orang lain yang melihat. Laki-laki itu tak mau lagi peduli pada apapun. Pikiran, hati dan perasaannya hanya merasakan satu hal. Sakit yang teramat sangat!
Seseorang mendekat di belakangnya. Mati-matian menahan air mata agar tidak turun melihat betapa laki-laki yang terkenal dingin itu kini menangis histeris di atas pusara belahan jiwanya. Matanya melirik sebuah sebuah foto lain yang luput dari perhatian Bram.
Adrian menghela nafas berat. Entah bagaimana caranya ia memberitahukan hal ini pada bosnya itu.
"Pak Bram," meski tahu percuma karena badan Bram sudah basah kuyup, namun Adrian tetap mendekatkan payung ke atas tubuh laki-laki itu.
Bram tak bergemig, masih memeluk nisan dalam tangis.
Adrian kembali terdiam. Memutuskan untuk membiarkan laki-laki itu melepaskan dukanya.
Setelah beberapa lama, Bram melepaskan pelukannya di nisan Vanya. Air mata masih mengalir di pipi pucatnya. Dengan telunjuk, ditelusurinya nama yang terukir di nisan itu. Namun kemudian jari itu terhenti..
Vanya Kirana dan...Erika Rosalia?
Apa maksudnya? Mengapa ada orang lain yang dimakamkan di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Chance
RomanceCerita ini merupakan remake dari fanfiction yang saya buat bertahun yang lalu. Aku mencintainya. Sangat. Namun aku terlalu pengecut untuk terus dapat bertahan di sisinya. Meninggalkannya dengan cara terkejam yang aku bisa. Dan Tuhan benar-benar...