Ajur

7 1 0
                                    

Richard memandang anak dengan kening berkerut. Menurut laporan para pelayan, Bram baru pulang sejam yang lalu setelah dua hari pergi. Dan kini, laki-laki itu nampak sudah kembali siap berangkat.

Wajah Bram nampak sangat pucat.

"Kau akan ke kantor jam segini?" diliriknya jam dinding antik yang berdiri di sudut ruangan. Masih jam 7 pagi.

"Aku tidak akan ke kantor," jawab Bram dingin.

"Apa~kau masih mencari gadis itu, Bram?"

Bram tak menjawab. Meskipun begitu, Richard tidak memerlukan jawaban apapun. Sejak kembali dari London sebulan yang lalu, ia tahu, Bram terus mencari keberadaan Vanya.

"Bram, ada yang harus kita bicarakan."

"Aku tidak punya waktu, Ayah," potong Bram cepat. "Aku pergi."

Richard hanya mampu terdiam seraya menatap punggung anak angkatnya itu yang menghilang di balik pintu.

Tubuh Bram jauh lebih kurus dibanding dua tahun yang lalu. Wajahnya pun nampak semakin dingin dan tanpa ekspresi. Meski tidak banyak berbincang dengannya, namun Richard dapat merasakan, kepedihan yang ditanggung Bram dalam dua tahun terakhir. Selama ini, entah apa yang membuat dirinya tutup mata pada kenyataan tersebut. Dan sekarang, di usianya yang semakin renta, Richard mulai menyesali apa yang terjadi dua tahun yang lalu.

Ia masih ingat, betapa renyahnya tawa Bram dan betapa berbinar matanya yang biasanya dingin itu saat Bram masih bersama Vanya. Dan betapa inginnya dirinya melihat semua itu sekali lagi.

"Apa yang harus aku lakukan, Hardi?" keluhnya pada pelayannya yang setia.

"Kebenaran, Tuan. Anda harus mengatakan kebenarannya pada Tuan Bram."

"Dia pasti akan semakin membenciku."

Hardi terdiam. Rasanya ia tidak perlu mengemukakan pendapatnya karena dirinya yakin, Richard Williams tidak memerlukan sebuah pendapat.

Itulah harga yang harus dibayar atas semua yang sudah dilakukan di masa lalu!

"Siapkan mobil, Hardi. Aku ingin menemuinya sekarang."

Hardi menatap majikannya dengan ragu.

"Tapi, Tuan?"

"Aku harus menemuinya, Hardi. Sudah lama sekali aku tidak menengok gadis itu."

"Baiklah, Tuan. Mobilnya akan segera saya siapkan."

"Siapa yang ayah maksud gadis itu?"

Sebuah suara membuat keduanya terkejut. Bram nampak berdiri di ambang pintu dengan wajah sedingin es.

"Bram? Bukankah kau sudah pergi? Mengapa kembali lagi?"

Bram mengacuhkan pertanyaan ayahnya.

"Siapa yang akan ayah temui? Siapa yang gadis yang akan ayah temui itu?"

"Bram..." Richard tergagap.

"Katakan padaku, Ayah. Apakah gadis yang ayah maksud itu ~ Vanya?

Richard sadar, tak ada gunanya lagi mengelak.

Perlahan kepala tua itu mengangguk. "Kau benar. Gadis yang akan aku temui adalah~ Vanya."

"Selama ini ayah sudah tahu dimana Vanya berada?" Bram mendekat dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Richard kembali mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Bram~"

One More ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang