Wooseok memegang erat kemejanya di bagian dada. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Rasanya sesak. Dadanya seperti ditindih batu besar. Melihat Jinhyuk tertawa renyah dengan seorang bocah yang memanggilnya 'Ayah, sel otak Wooseok mencoba menguraikan benang-benang merah yang sempat menghantuinya selama beberapa tahun terakhir. Ketika ia berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya setelah melewati ratusan hal-hal buruk, mengapa Jinhyuk, si pembuat badai terbesar itu, muncul kembali dengan membawa angin yang lebih menusuk?
---
4 tahun lalu...
Wooseok selalu tersenyum dengan pesan-pesan cinta yang masuk ke ponselnya sepulang pelatihan. Mungkin, penyemangat itu yang membuatnya bertahan atas ritme pelatihan yang sangat intens. Pahitnya espresso yang dicecapnya hingga membuat lambungnya kram, seolah terobati dengan ucapan "Jangan lupa makan, sayang. Maaf seharian ini aku rapat himpunan, baru bisa kontak kamu sekarang,"
Entah, Wooseok bukanlah tipe pacar yang posesif. Ia membiarkan semua hal mengalir begitu saja, mengingat hubungannya dengan Lee Jinhyuk sudah berjalan lebih dari dua tahun. Wooseok masih ingat dengan jelas bagaimana Jinhyuk menyatakan cintanya di pinggir lapangan basket SMA mereka. Wooseok terkejut dengan pernyataan cinta itu, ia tidak percaya dengan dirinya sendiri. Mana mungkin anak sepopuler Jinhyuk menyatakan cinta pada seorang anak yang tertutup. Wooseok masih setengah hati saat memutuskan untuk menerima Jinhyuk ke dalam hidupnya. Tetapi, justru bersama Jinhyuk-lah, pandangannya terhadap dunia menjadi lebih luas. Bersama Jinhyuk pula, ia menemukan kecintaannya pada kopi.
"Kopi itu punya rasa macem-macem Seok, nggak cuma pahit aja. Kalo bikinnya pas, kamu bisa nemuin rasa buah-buahan di situ. Pengen deh aku ambil beasiswa sekolah kopi, sayangnya Ibu pengen aku masuk Fakultas Ekonomi, ngeselin gak tuh?"
Tentu, Wooseok bingung, respon apa yang harus diberikan padanya.
"Yaudah, aku aja yang sekolah kopi. Biar nanti kalau kita hidup bareng, aku bisa bikinin kopi buat kamu tiap hari. Pokoknya jangan bantah Ibu! "
Jinhyuk sedikit terkejut dengan pernyataan Wooseok yang bersayap itu. Cintanya pada Wooseok tumbuh semakin besar dan menjadi penyemangatnya untuk masuk ke fakultas impian semua orang itu. Begitu pun Jinhyuk yang membantu semua keperluan Wooseok mewujudkan beasiswa kopi itu. Pada akhirnya, mereka berhasil mencapai tujuan masing-masing.
"Pokoknya di Jakarta, kamu nggak boleh kegoda sama mentornya. Biasanya barista ganteng soalnya."
"Hmm, iya-iya, Jinhyuk pacarku yang jamet."
Wooseok masih ingat bagaimana ibunya dan Jinhyuk mengantarnya ke stasiun. Ketika sang ibu memilih untuk membawakan Wooseok vitamin, peralatan mandi, makanan, dan obat-obatan, Jinhyuk membawakannya selimut lembut warna biru muda bergambar kucing, sebuah diary, dan parfum.
Aku milih gambar kucing, soalnya mirip kamu hehe. Kamu gabisa cerita-cerita ke aku langsung, kan? Kalo bete, tulis aja di diary. Oh, ya! Aku ngasih parfum 'Earl Ocean'. Iya, itu parfumku. Kalo kangen, semprotin ke badanmu. Biar berasa abis aku peluk. Hehe
-dari aku yang bangga jadi pacarmu.
Hingga suatu saat, ketika Wooseok hampir menyelesaikan pelatihannya, Jinhyuk mulai sulit dihubungi. Bahkan, Jinhyuk hanya mengirimi pesan saat ia tertidur. Lalu, kebiasaan itu mulai memburuk saat Jinhyuk seolah hilang ditelan bumi. Wooseok yang gelisah menjadi semakin hancur tatkala tak sengaja ia melihat unggahan facebook teman sekolahnya, beserta foto pernikahan yang entah membuatnya makin terpuruk.
[Wah gak nyangka, Jinhyuk kita nikah gaes! Dan selamat menjadi bapak setelah ini!]
Wooseok mencoba menelepon Jinhyuk sampai dua puluh kali dan akhirnya Jinhyuk menyerah dan mau berbicara dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LATITUDE
FanfictionSelamat datang di Latitude, kafe tersukses di Kota Pelajar ini. Selamat menikmati kegantengan Mas-mas eh... Kopi dan atmosfernya ❤️ *Diambil dari kisah nyata Mas Thor dan Mbak Thor. Tokoh di dalamnya terinspirasi dari teman teman kerja. This is our...