Rumah

233 48 8
                                    

Warning!
Terdapat kata-kata kasar yang mungkin kurang menyenangkan.

Mata Eunsang masih sembab tatkala ia memarkirkan motornya disebuah halaman rumah bergaya klasik. Atmosfer hangat terlihat dari lampu antik yang menggantung di teras dengan meja dan kursi kayu yang langsung bisa dilihatnya dari pagar depan. Meski gelap, ia masih bisa melihat banyak bunga yang sengaja ditanam tuan rumah dan beberapa diantaranya menebar bau harum. Di sinilah, Junho, teman barunya itu tinggal. 

"Ini rumah kakekku sebenernya, cuma karena beliau meninggal dunia dan Ayah ditugasin di rumah sakit Jogja, akhirnya keluarga besar sepakat kalo rumah ini ditinggali keluargaku. Eh bentar, mau ngunci pagar dulu," Junho berlari kecil. "Kayaknya Ayah sama Ibu udah tidur, soalnya aku tadi chat nggak dibales.."

Eunsang masih membuntuti Junho hingga mereka masuk ke ruang tamu yang terkesan kuno. Diamatinya interior kuno ruang tamu dengan lantai tegel berpola khas rumah-rumah Belanda. Foto-foto terpajang di sepanjang dinding dan matanya menangkap foto keluarga Junho yang tercetak paling besar diantara foto yang lain. 

"Kamu anak tunggal Jun?" 

"Bisa dibilang gitu," ujar Junho lirih. "Sebenernya aku punya empat kakak, cuma mereka udah dipanggil Tuhan sebelum dilahirin." Junho menceritakan bahwa dirinya bisa dibilang sebagai anak yang beruntung karena masih bertahan hidup. 

Junho masuk ke dalam kamarnya, membiarkan Eunsang di ruang tamu dan mengagumi benda-benda antik yang terpajang di sana. Bukan takut, malah Eunsang penasaran dengan keris, wayang, dan beberapa guci yang terpajang di sana. Ada gramofon beserta piringan-piringan hitam lagu keroncong yang tertata rapi.  Masih lekat di ingatannya, dulu sang Ibu bercerita bahwa sebelum menikah, ia juga merupakan salah satu penyanyi keroncong yang cukup terkenal. Hingga memutuskan berhenti karena menikah dengan ayah Eunsang, yang sangat membatasi hobi menyanyi sang Ibu. Eunsang menghela napas jika mengingat kehidupan keluarganya yang tidak terlalu baik itu. 

"Eh, ya ampun...Ini temennya Junho ya? Yang mau nginep?" 

Eunsang terkejut saat seorang wanita keluar dari kamar lain dengan wajah yang lembut dan cantik dalam balutan daster. Eunsang tersenyum canggung. Ia menunduk singkat. 

"Iya..iya tante, hehe. Salam kenal ya, Tan,"

"Aduh, dasar Junho, bukannya disuruh ganti baju malah dibiarin di ruang tamu. Juuuunnn... Ini temen kamu diambilin baju dulu gih!" 

"Iya Iya Bu, ini aku habis rebus air buat teh. Lagian dapur jauh banget di belakang," Junho menggerutu. "Oh, ya Eunsang ini Ibu aku, Ibu ini Eunsang. Temenku. Masih baru juga kok di Latitude,"

Eunsang mencium tangan ibu Junho. Entah, sepertinya ibu Junho merasakan firasat yang aneh. Ia memandangi Eunsang cukup dalam dan mengusap bahu Eunsang. Eunsang juga merasa bahwa ia sangat merindukan usapan lembut itu. "Jangan panggil tante, panggil 'Ibu' aja, ya Sang. Biar kayak temen Junho yang lain. Pokoknya kamu masuk ke rumah ini, dari pintu depan udah dianggap anak Tante sama Om," ujar ibu Junho. "Udah, kamu mandi dulu ya, biar tidurnya enakan. Jun, ambilin handuk bersih sama baju kamu gih. Oh ya, kamu tidurnya di situ, kamar tamu, ya, Sang."

Eunsang mengangguk dan meletakkan barang-barangnya. Lalu ia mandi setelah Junho mengambilkannya satu stel piyama dan menunjukkan di mana letak kamar mandinya. 

"Ayah udah tau Bu kalo Eunsang mau nginep?" tanya Junho pada ibunya. 

"Udah, malah kalo bisa sering-sering aja. Kasian temenmu kalo abis pulang kerja jam segini rumahnya jauh. Mending suruh nginep aja, baliknya besok pagi,"

Ah, beruntung Junho dibesarkan di tengah keluarga yang sangat perhatian. Tidak hanya dia, tapi juga teman-temannya yang lain. Mungkin karena dia anak tunggal sementara kedua orang tuanya adalah tipe penyayang. Sejak Junho mengenal apa arti teman, orang tuanya pun menganggap teman Junho adalah anak mereka juga. 

LATITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang