PROLOG

113 38 9
                                    

Disinilah dia, taman belakang sekolah yang sepi dari kebisingan murid-murid sekolahnya, konon katanya disini banyak penunggu, namun untuk seorang Alfath, dia tidak pernah takut hal-hal ghaib, sekalipun mereka muncul didepannya, Alfath bertaruh akan meninjunya dengan tinjuan yang menurutnya bisa untuk mengalahkan seorang Mike Tyson sekalipun.

Suatu hal menariknya kesini, sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenali. Itulah Alfath, dia memilih untuk selalu ke taman belakang sekolah ketika sebuah panggilan masuk, privasi katanya.

"Halo,"  suara dari seberang mulai muncul, mendengar satu kata saja sudah membuat Alfath merasa ogah-ogahan untuk meneruskan panggilan ini.

Ia amat mengenali suara siapa kah yang berani mengganggu makan siang dikantinnya, dan dia sangat membenci pemilik suara itu.
     
"Ada apa, Ayah?" dengan terpaksa, ia menanyakan hal apa yang membuat Ayahnya menelepon dirinya.
     
"Apakah sampai sekarang, kamu masih membenciku, Nak?" disusul helaan nafas yang terdengar diseberang.
     
"Langsung ke intinya saja, sebentar lagi aku akan masuk ke kelas."
     
"Baiklah, tapi Ayah harap kamu tidak kaget saat mendengar ini, Ayah sudah memutuskan dengan keluarga Olivia, jika pernikahan kalian akan dilangsungkan setelah kalian menyelesaikan UN."
     
"Apa?! Kenapa Ayah tidak membicarakan hal ini denganku terlebih dahulu!",suaranya naik beberapa oktaf dengan tanpa ia sadari, "Nggak Ayah, aku nggak mau pernikahanku diajukan! Apapun alasannya!"
     
"Jangan membentak Ayah Alfath! Ayah membesarkanmu bukan untuk membentak Ayah! Pokoknya kamu harus mau, Ayah sudah memikirkan yang terbaik untukmu, Alfath," suara dari seberang tidak kalah tingginya dari suara Alfath.
   
Kali ini Alfath menghela nafas berat, memikirkan nasib cinta dan masa depannya membuat kepala Alfath terasa pening. Lebih pening daripada disuruh mengerjakan ulangan matematika Pak Nasir, guru killer yang terkenal disekolahnya. Seorang guru yang memiliki kepala yang sama sekali tidak ditumbuhi sehelai rambut, serta perut yang seakan mau meloncat keluar ketika sabuknya dikencangkan. Namun, satu hal yang membuatnya ditakuti oleh murid-muridnya, ia tak segan-segan mengeluarkan murid yang bermasalah dari SMA Pancasila, tempat Alfath menimba ilmu di Jogja.
     
Ahhh, kenapa ia malah mengingat tentang guru menyebalkannya itu, sekarang ia harus memberikan alasan yang tepat agar Ayahnya mau menunda lebih lama lagi soal pernikahan anak bungsunya ini.
     
"Halo? Alfath, kamu masih disana?"
     
Dengan menempelkan satu telunjuknya ke dahi, Alfath mencoba berpikir keras menemukan alasan yang tepat, sedetik kemudian, seolah ada lampu yang bersinar cerah ketika ia menemukan satu ide, ide yang cukup bagus untuk menunda pernikahan sialan itu.

"Tapi Ayah, setelah aku lulus nanti, aku akan melanjutkan pendidikanku, bagaimana nanti aku akan mengurus keluargaku  ketika aku kuliah, Ayah?" ucapnya dengan dibumbuhi nada sedikit memelas, berharap agar Ayahnya mau mencabut keputusannya.
     
"Tidak! Kamu harus setuju dengan keputusan Ayah ini,"
     
Oh shit. Alfath baru ingin mengeluarkan protesnya ketika suara Ayahnya terdengar lagi,
     
"Dan satu hal lagi, Alfath. Minggu depan, pulanglah ke Jakarta, hiduplah disini, dan tinggalkan Jogja. Kakekmu akan mengurusi kepindahanmu, dan soal yang satu ini, Ayah harap kamu tidak protes!"
     
Seketika, tubuh Alfath menegang kaku dengan hebatnya, dirinya tidak mungkin salah dengar, dengan penuh emosi, tangannya memegang handphone itu dengan sangat keras, melampiaskan kemarahannya ke benda pipih itu. Tak puas, ia kemudian membanting handphone itu ke lantai.
     
"Aaarrghhhh," teriaknya.

——————


Hai, semoga kabarmu baik,
Dan salam kenal 👋
Ini cerita pertamaku,
Jadi maaf jika penulisan dan ceritanya kurang baik. 🙏

Vote and Comment 🙏
Karena itu sangat membantuku untuk menulis part berikutnya 👌

Sacrifice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang