Aku pikir aku adalah benda abstrak. Nyatanya dia masih dapat melirikku, sekali pun dengan kebencian yang berkerak.
Giftan
###
Gemilangnya nama Giftan dari prestasi peringkat tiga di satu angkatan mulai surut, ketika satu per satu temannya menjauhi dirinya. Setelah tahu, bahwa cowok rapuh itu punya sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan mereka. Giftan juga sudah cukup tahu diri untuk tidak mendekati mereka demi tidak menularkan penyakit yang dideritanya.
Intensitas perundungan yang dulunya cuma sebatas pemalakan tugas sekolah yang dilakukan oleh Gerald seakan terasa merebak. Kini semua orang enggan berdekatan dengannya. Jangankan berdekatan, melihat wajahnya pun seakan tak sudi. Giftan seperti benda abstrak yang bukan hanya diabaikan, melainkan juga ditolak keberadaannya di mana-mana.
Dan ternyata itu lebih menyakitkan. Sebelum Mycobacterium tuberculosis menjangkit paru-parunya, Giftan sudah kesepian. Sekarang kesepian itu bertambah parah lagi dengan rasa sakit yang hampir tiap hari Giftan alami. Yang selalu membuatnya ketakutan karena dirinya belum siap mati.
Seberapa besar perasaan benci Giftan pada kehidupannya sekarang, cowok itu belum siap menemui ajal. Dia masih memegang janji seseorang. Karena itu Giftan selalu berharap kepada Tuhan, supaya seseorang yang dinantikannya bisa menepati janji sebelum malaikat maut membawanya pergi.
Beruntungnya, Giftan masih memiliki dua hal yang setidaknya membantunya sedikit mengambang dari laut kesedihan. Dia punya Abas-sepupunya-yang selalu memberantas kesepiannya di rumah. Tak terhitung seberapa jauh jarak yang membuat Abas harus pulang seminggu sekali, teknologi sudah cukup mempermudah komunikasi di antara mereka berdua. Setidaknya, dengan sekadar melempar canda melalui telepon, perih batin Giftan akibat perlakuan kedua orangtua Abas dapat teredam.
Lain dengan di rumah, Giftan juga punya pengalihan dari apapun yang membuatnya terluka di sekolah.
Ruby adalah jawabannya. Tak peduli kalau Ruby juga turut melakukan hal sama seperti anak lainnya, Ruby tetaplah berbeda. Entah mengapa, tiap kali Ruby bersama teman-temannya, Ruby seakan tak benar-benar nyaman dengan mereka. Ada jarak tak kasat mata yang dapat Giftan rasakan tiap kali Ruby bercanda dengan ketiga temannya. Yang membuat Ruby seolah sendirian di tengah Salisa, Audrey, dan Tisha.
Persis seperti saat ini. Ketika Ruby membagi-bagikan gulungan kertas yang diikat pita dengan begitu bahagianya. Salisa dan Tisha tampak dengan hebohnya bicara sendiri, tak begitu peduli dengan gulungan yang mereka dapat. Sedangkan Audrey tersenyum antusias, yang langsung redup kala Ruby berlalu. Kentara sekali, senyum yang dipaksakan. Seakan-akan mereka tak benar-benar bersahabat.
Ruby adalah pemegang peringkat satu di kelas ini. Sementara Salisa, Audrey, dan Tisha hanyalah kumpulan cewek bar-bar yang cuma mengandalkan kecantikan mereka semata. Giftan sangat yakin dengan pikiran negatifnya, bahwa mereka bertiga mendeklarasikan diri sebagai sahabat Ruby hanya untuk memanfaatkan otak cemerlangnya. Cuma demi menambal kebodohan atas deretan nilai merah yang mungkin saja tertoreh dalam rapor mereka.
Mereka berteman dengan Ruby hanya demi nilai. Mereka tak menyukai Ruby sama sekali, terlebih kekurangan Ruby yang barangkali menimbulkan ketimpangan di antara mereka.
Sebuah kesenjangan fisik.
Akan tetapi, Ruby juga selalu tampak seolah menyembunyikan perasaan tidak percaya dirinya di depan anak lain. Mungkin seperti, dia merasa pandai, setidaknya itu nilai plusnya. Di sisi lain pula, Giftan melihat Ruby seperti selalu membela diri. Bahwa, tidak apa-apa mereka memanfaatkan kelebihannya, yang penting dirinya punya teman.
Karena itulah Giftan mengagumi Ruby. Sebab dia pikir Ruby sama dengannya; sama-sama memendam rasa sepi yang tak terbantahkan.
Giftan memandangi Ruby yang perlahan mendekat ke arahnya. Kemudian matanya beralih pada secarik undangan yang dibentangkan oleh anak di depannya. Ternyata gulungan yang Ruby bagikan itu adalah undangan ulang tahun.
Diam-diam Giftan tersenyum. Berharap kalau dirinya juga akan kebagian undangan ulang tahun dari cewek yang dikaguminya itu.
Nyatanya, ketika Ruby hampir mencapai bangkunya, cewek itu cuma melirik dari balik rambut poninya yang menjuntai ke depan. Tangannya sudah kosong. Tak ada sisa gulungan undangan untuk Giftan.
***
"Abang!"
Giftan berseru ketika baru turun dari bus. Dapat dilihatnya cowok jangkung yang berdiri di halaman rumah, tengah menyiram motor matic merahnya.
Cowok dengan kaos oranye itu segera menoleh begitu suara yang familiar hingggap di telinganya. Kemudian tersenyum lebar menyambut kedatangan sang adik sepupu. Dia melambai pada Giftan yang kelihatan hanya seperti bayangan, berjalan membelakangi sinar mentari sore hari.
"Hei, Bro!" Abas mematikan keran air dan meletakkan selangnya. Berdiri untuk melakukan kebiasaan dengan adiknya ketika bertemu. Adu kepal dan sepatu.
"Tumben pulang awal?" tanya Giftan yang pandangannya bergantian, antara kakaknya dan motor basah itu.
"Iya, nih. Baru ngajakin Red Fire lintas alam. Minta dimandiin dia, nggak betah katanya."
Giftan tergelak. Abas memang sengaja menamai motor maticnya Red Fire, mentang-mentang motor Beat kesayangannya itu punya sticker api di mana-mana, bahkan hingga helmnya. Abas sangat fanatik dengan gambar kobaran api.
"Sori, gue juga lupa nggak bawain martabak buat lo, Tan. Duit gue habis buat nyewa tenda," cengir Abas seraya mengambil kembali selang air yang tergeletak di rumput. Menyalakan alirannya.
Seketika, tebersit ide dalam pikiran Giftan. Dia bersedekap dan menggeleng.
"Permintaan maaf lo belum cukup!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [By Viavidi]
Teen Fiction[Sickstory | Semi Fantasi] Hidup dalam penolakan adalah hidup penuh penderitaan. Sama seperti yang Giftan alami. Bagi orang rumah, Giftan adalah musibah. Bagi anak-anak di sekolah, Giftan adalah wabah. Sangat berbeda dengan namanya, Giftan sama seka...