Prolog

32 0 0
                                    

Derasnya hujan mulai berubah menjadi rintik-rintik rinai. Meninggalkan sisa bau tanah basah yang begitu pekat menyeruak penciuman. Beberapa tetes yang masih teronggok pada daun-daun pohon perlahan tiris.

Seorang gadis berlari di bawahnya dengan tergopoh-gopoh. Gadis berpakaian balet berwarna hitam dengan rok mekar seperti bunga, memutari pinggul rampingnya. Gaun miliknya basah kuyup dan kotor oleh lumpur setelah berkali-kali jatuh terpelanting di tanah yang berlumpur. Air hujan membuat tanah menjadi licin dan lengket, membuat langkah siapapun orang yang berjalan di atasnya terhalang. Rambutnya yang digelung sudah berantakan. Wajah cantiknya yang semula terpoles oleh riasan wajah luntur oleh air hujan. Dengan lihai gadis itu melompati semak-semak dan ranting pohon yang mulai rapuh dan lapuk sehingga membuat dirinya jatuh berulang kali. Dia harus berlari lebih cepat bila tak mau tertangkap oleh seseorang yang kini tengah mengejarnya.

Di belakang sana, sesosok wanita renta berjalan begitu pelan. Kelopak matanya yang telah mengerut termakan usia membingkai mata hijaunya, menatap nyalang gadis di depan sana. Membuat wajahnya tampak gahar. Dia tak berusaha mengejar gadis bergaun balet itu dengan langkah kaki yang sama cepatnya. Dia sadar umurnya terlalu tua untuk dapat berlari kencang layaknya anak muda. Ketakutan gadis itu sudah cukup membuatnya tersenyum menyeringai bengis sepanjang melangkah. Gadis itu tak akan pernah bisa lepas dari kejarannya, pikirnya. Maka dari itu, daripada lelah, dia cukup berjalan selangkah demi selangkah.

Namun sayang langkah dan rasa letih gadis itu berujung sia-sia. Dia seolah sampai di ujung hutan ini. Tak ada jalan lagi. Di depannya tinggal semak belukar yang meninggi seakan memang tak ada lagi manusia yang masuk kemarin. Buntu, tak ada jalan keluar!

Dengan jantung berdetak kencang, dia berbalik arah. Betapa terkejut dirinya mendapati nenek-nenek yang tadi hanya berjalan kini tinggal beberapa meter darinya. Wanita berpakaian abu-abu, bertudung, yang kumal dan compang-camping itu mengangkat tangan ke udara. Menunjuk ke arah dirinya.

Gadis itu menerbitkan senyum getir menatap wajah penuh ancaman di depan sana. Kemudian menggigit bibirnya kuat-kuat agar tangisnya yang hendak keluar bisa tertahan. Segera saja dia menoleh ke kanan-kiri. Selanjutnya dia mengambil apapun yang terlihat—ranting ataupun batu—di sekitarnya, untuk melempari wanita tua bangka berambut kelabu itu.

"Enyahlah kau dari sini! Pergi!" jerit sang gadis.

Wanita itu hanya diam. Segala hal yang terlempar padanya mampu dia terbangkan dengan satu kali tunjuk menggunakan jemarinya. Melempar balik ke arah sang gadis.

Gadis itu berjongkok secara refleks, dengan kedua tangan terlipat di kepala. Melindungi dirinya sendiri dari batu dan ranting yang menimpanya bertubi-tubi. Pada akhirnya gadis itu hanya bisa tergugu.

Sesaat kemudian, suara-suara menyeramkan keluar dari mulut wanita tersebut. Terdengar seperti desisan, juga kutukan-kutukan.

Tubuh gadis itu terasa panas tiba-tiba. Dia jatuh terguling di tanah. Menggeliat dengan jeritan pedih memekakkan. Seolah-olah nyawanya akan dicabut secara perlahan.

Wanita itu terus mengucapkan kata-katanya yang tak akan dimengerti oleh manusia. Semacam bahasa iblis dari neraka. Sangat menakutkan sekali pun tak tahu arti sebenarnya.

Perlahan, tubuh yang tengah menggelepar di tanah itu terangkat ke udara. Gadis bergaun balet itu terus merintih kesakitan merasakan panas yang membakar tubuhnya dari dalam.

Sang wanita renta tersenyum sinis melihat bagaimana tubuh yang selalu dipuja banyak orang itu mengerut, semakin kecil, tak punya daya menghalau sihirnya sama sekali. Bersamaan dengan hal tersebut, lenyap pula suara sang gadis yang telah berubah wujud. Wanita itu menarik telunjuknya, menarik tubuh sang gadis ke dalam rengkuhan tangan. Lantas meremasnya sambil tertawa jahat. Tanpa ampun. Karena kesombongan memang patut dimusnahkan dari muka bumi ini.

[]

Hiraeth [By Viavidi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang