Chapter 1

95 18 50
                                    

Derit kursi yang bergeser menarik atensi wanita berumur lebih dari setengah abad yang tengah sibuk mengaduk sup di dalam panci. Lantas ia menoleh untuk kemudian menemukan sang cucu yang sudah terduduk manis sembari menopang dagu dengan kedua telapak tangan, tersenyum amat lebar hingga lesung pipi kanan-kirinya ikut terekspos. Tubuh cucunya telah terbalut seragam SMA lengkap dengan segala atributnya; sweater hitam tanpa lengan, dasi, dan nametag. Surai coklat gelapnya tampak masih sedikit basah.

"Selamat pagi, Nenek! Katakan, apakah aku semakin tampan?"

Pertanyaan itu membuat Nenek terkekeh, ia pun menggerakkan kepala untuk kembali terfokus ke sup yang tengah dimasaknya. "Bukankah kau selalu tampan, Jailen?" tanyanya setelah mencicipi rasa sup, jaga-jaga kalau ada yang perlu ditambahkan.

Jailen Aifench mengangguk antusias. Masih dengan bibir yang mengurva membentuk senyuman menawan. "Nenek memang yang terbaik!" akunya seraya menunjuk Nenek dengan telunjuk dan jempol terangkat—pose menembak, tak lupa mengedipkan sebelah mata. Tidak lama kemudian ia mengganti gestur tubuhnya menjadi duduk tegak, melipat kedua tangan di atas meja, kala dilihatnya Nenek berbalik sembari menenteng wadah berukuran sedang berisi sup.

Wadah tersebut Nenek taruh ke atas meja makan. Mata Jailen berbinar-binar, tak sabar untuk segera melahap sup yang telah berhasil menggodanya sejak beberapa detik lalu. Harum sup menyeruak masuk ke rongga hidung si pemuda, membuatnya kian melebarkan mata dan mengundang tawa kecil dari neneknya.

"Maaf, Nenek tak bisa menemanimu sarapan. Nenek harus segera ke toko bunga Bibi Agriella. Ia mendapatkan banyak pesanan hari ini. Kau tak apa, Nenek tinggal sendiri?" Nenek berujar dengan nada tak enak hati. Sementara tangan kanannya sibuk menyendokkan sup untuk ia tuang ke mangkuk kecil di tangan kirinya.

Hening sesaat.

"Tidak apa, aku mengerti, kok." Jailen tersenyum janggal, seperti ada sesuatu yang tengah berusaha ia tahan. "Nenek yang semangat, ya. Jika Nenek lelah, bayangkan saja wajah tampan cucumu ini."

"Nenek akan melakukannya," sahut Nenek sembari tertawa, menyerahkan mangkuk kecil yang sudah terisi sup ke Jailen. Jailen menerimanya dengan kepala agak menunduk. Bisa ia dengar langkah pelan yang menuju ke arahnya, sebelum sebuah usapan halus menyapa pucuk kepala pemuda tersebut. "Nenek berangkat, ya. Jika supmu kurang, kau tambah saja. Jangan sampai terlambat ke sekolah."

Si pemuda mengangguk, memberi respons nonverbal. Lantas ia kembali mengangkat kepala, menatap punggung Nenek yang kini tak lagi terlihat dengan telaga mata berkaca-kaca. Nafsu makan yang menggebu hilang dalam sekejap. Dirinya memandang nanar mangkuk sup dengan kepulan asap yang masih tersisa. Satu dua tetes air mata mulai membasahi pipinya, sebelum menjelma menjadi aliran sungai kecil di wajahnya yang mulai memerah.

Sebagai seorang cucu, kadang Jailen merasa kurang berguna. Namun ketika ia ingin melakukan sesuatu—seperti bekerja—Nenek akan memarahinya. Takut kegiatan sekolahnya terganggu, juga khawatir dirinya akan kelelahan. Pernah pula, ia nekat akan menjual komputernya, agar Nenek bisa istirahat bekerja selama beberapa hari tanpa takut kekurangan uang. Tetapi yang selanjutnya terjadi adalah Nenek mendiaminya hampir seharian. Bisa dikatakan, kala itu Nenek benar-benar murka. Jailen hendak menjual salah satu penunjang aktivitas belajarnya, jelas Nenek berang.

Kedua orang tua Jailen telah meninggal, begitu pun dengan kakeknya. Nenek merupakan satu-satunya orang berharga yang Jailen punya sekarang. Tak perlu dijelaskan seberapa sayang si pemuda terhadap sang nenek. Pinta Jailen untuk mendeskripsikan sebuah kebahagiaan, maka hanya ada satu kata yang akan ia lafalkan. Nenek.

Aku ingin memberikan sebuah berlian untukmu, Nek. Bisakah?

Tanpa Jailen sadari, sesuatu tengah mengawasinya, tersenyum ketika mendengar isi hati pemuda tersebut, lalu membaur dengan udara dan menghilang.

At Some PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang