Istirahat pertama telah berlangsung selama beberapa menit. Shamus menumpu kedua lengannya di atas pagar pembatas atap, menatap lurus halaman sekolah yang terlihat sepi. Seorang satpam tampak siaga di postnya yang terletak tak jauh dari gerbang keluar-masuk sekolah.
Pemuda itu tak acuh manakala perutnya berbunyi meminta nutrisi. Biarkan saja, pikirnya. Kalaupun nanti dia akan sakit, Shamus tidak peduli. Kepalanya sudah terlanjur pusing memikirkan masalah yang mampir tak tahu waktu. Jadi, sekalian saja seluruh badannya dibuat sakit. Pemikiran dangkal. Tidak usah ditiru.
Shamus adalah anak rantau. Tinggal sendirian di apartemen di salah satu daerah ibu kota. Ibu dan ayahnya menetap di sebuah desa dengan menjadi petani di perkebunan buah-buahan milik mereka sendiri.
Si pemuda merantau atas paksaan orangtuanya. Mengingat kala itu fasilitas sekolah menengah atas di desa tak selengkap yang ada di kota. Shamus awalnya protes, namun ujung-ujungnya mengangguk pasrah juga.
Tadi malam, ibunya menelepon dan mengatakan kalau kebun mereka diserang oleh hama tanaman. Padahal, sebentar lagi musim panen akan segera tiba. Shamus pening. Pasalnya, minggu depan sudah waktunya untuk membayar uang sewa apartemen.
Namun, bukankah akan tidak tahu diri jika ia berkeluh kesah perihal uang bulanan yang belum juga dikirim di tengah musibah yang menimpa orangtuanya? Akhirnya, pemuda itu putuskan untuk tak memberi tahu ibunya jikalau ia butuh uang untuk bayar sewa apartemen dan memilih menenangkan wanita paruh baya tersebut.
Satu hela napas meluncur bebas dari mulutnya. Mendadak bisa merasakan beban tak kasat mata yang menimpanya bertambah berat, tatkala dirinya mengingat bahwa persediaan makanan di apartemen sudah makin menipis.
"Inikah saatnya aku harus menggeluti profesi sambilan? Pengemis misalnya." Pemuda tersebut memejamkan mata, seiring dengan angin yang berembus menerpa wajahnya. Jujur saja, Shamus mengantuk. Sebab terlalu larut memikirkan masalah kebun yang diserang hama tanaman dan uang sewa apartemen, si pemuda tidak sadar bahwa jam telah hampir menginjak pukul tiga pagi. Dan jadilah ia hanya tidur sebentar.
"Tapi ...." Mata Shamus kembali terbuka, "memangnya ada pengemis setampan aku? Muka-muka sepertiku ini lebih cocok jadi personil boyband." Si pemuda terkekeh atas ucapannya sendiri. Mendadak ia merasa malu. Untung tidak ada orang.
Seorang pemuda lainnya baru saja menginjakkan kaki di area atap. Hela napas lega ia lakukan karena, oh, yang benar saja menaiki tangga itu sungguh melelahkan!
Langkah riangnya berubah melambat kala matanya menangkap sosok Shamus dengan mulut komat-kamit.
Merasakan kehadiran orang lain, Shamus sontak menoleh dan menemukan Ayres yang langsung terdiam di tempat. Lalu ukir senyum kaku dan berjalan ke arahnya.
Terlambat sudah untuk putar balik, batin Ayres. Pemuda tersebut ikut menumpu tangan di atas pagar pembatas atap setelah sebelumnya melempar senyum kepada Shamus.
"Kau tidak ke kantin?" tanya Shamus dengan pandangan terarah ke pemuda di sebelahnya.
Ayres menatap Shamus, lantas menggeleng. "Tidak. Kau sendiri?"
"Aku mau menyiksa cacing di perutku." Usai bergumam demikian, pemuda itu kembali membuang pandangan ke halaman sekolah.
Kontan Ayres tertawa. Jawaban macam apa itu? Lantas ia teringat sesuatu. Segera ia merogoh saku kanan celananya dan mengeluarkan gulungan kertas berukuran kecil yang terikat pita berwarna kuning cerah.
"Shamus," panggil Ayres.
Shamus menoleh. "Ya?"
Ayres mengangkat tangannya yang memegang gulungan kertas guna menunjukannya kepada Shamus. "Aku menemukan ini—di tanganku."
![](https://img.wattpad.com/cover/222231133-288-k760441.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
At Some Place
FantasyMereka pikir, soal-soal yang akan mereka hadapi sama halnya dengan yang mereka kerjakan di sekolah. Tak sadar saja bahwa nyawa kelimanya telah terancam begitu kaki-kaki mereka menginjaki tanah Dream Island. Satu-satunya cara untuk keluar dari sana a...