First.

118 22 5
                                    

Lagi.

Pemuda berjas hitam itu menghela nafasnya, matanya menatap ke arah tumpukan dokumen yang ada di hadapannya. Sebuah papan nama terpampang di atas mejanya, bertuliskan Lee Minho.

Ya, namanya Lee Minho. Seorang pemuda berusia 27 tahun yang menjabat sebagai CEO di perusahaan milik ayahnya.

"Hyung, sudah?"

Minho melirik, menatap Changbin, sang sahabat sekaligus sekretarisnya yang tengah berjalan ke arahnya. Pria itu menggeleng, "belum, Bin."

"Kau terlihat lelah, biar aku saja yang melanjutkan." Changbin mendekat ke samping kursi Minho. "Kemarin kau tidak tidur kan? Lebih baik sekarang kau pulang, istirahat."

Minho menyandarkan kepalanya pada sandaran kursinya, matanya menatap entah ke arah mana. Pikirannya melayang, ia... merasa kosong.

"Bin," panggilnya, membuat Changbin yang tengah membereskan dokumen menoleh padanya. "Apa kau.. pernah merasa kesepian?"

Changbin terdiam sejenak sebelum menjawab, "pernah. Kenapa memang?"

"Apa yang kau lakukan disaat kesepian itu melandamu?"

"Aku akan melakukan hal apapun agar kesepian itu hilang. Seperti.. mencari hiburan? Berjalan-jalan?"

Minho terdiam. Tak lama, ia bangkit seraya melepas jas hitamnya, menyampirkannya di bahu membuat Changbin menatapnya heran.

"Kau mau kemana, Hyung?"

"Mengusir rasa sepi, seperti katamu. Aku akan mencari hiburan."

Minho pun berjalan meninggalkan Changbin yang masih menatapnya. Pria bermarga Seo itu menghela nafasnya.

"Masih begitukah perasaanmu, Hyung?"

ㅡㅡㅡㅡㅡ

"Uangku hanya tersisa untuk satu bulan ini lagi.."

Seorang pemuda berpipi gembil menghela nafasnya tatkala menatap rentetan angka yang terpampang di layar ATM ketika ia hendak mengambil uang bulanannya. Hanya ada tersisa sedikit, bahkan tak cukup untuk 1 bulan. Ucapan sang ayah kembali terngiang di kepalanya.

"Jisung, ayah sudah bangkrut. Pamanmu mengambil alih semua usaha ayah.."

"A-Ayah, lalu... bagaimana denganku? Aku bahkan belum menyelesaikan kuliahku..."

"Ayah tahu, jadi... bisakah kau kembali saja ke Malaysia dan menunda dulu kuliahmu sampai tahun depan? Ayah tak bisa membiayaimu, nak. Kau tahu sendiri ibumu sedang sakit dan uang ayah hanya cukup untuk ibumu, bahkan dia menjalani rawat jalan sekarang..."

Jisung meringis, kepalanya terasa pening. Hidup jauh dari orangtua dengan segala kondisi yang kurang sangatlah membuat dirinya merasa down. Ini bahkan adalah uang yang seharusnya ia gunakan untuk pulang, tapi ia tetap ingin melanjutkan studinya.

Bagaimana dengan cita-citanya untuk menjadi seorang Produser Musik?

Apa akan berakhir begini saja?

Jisung mengepalkan kedua tangannya, ia benar-benar pening. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil semua uang yang ada di tabungannya. Kemudian ia pergi, ia harus menenangkan pikirannya.

Meskipun ia harus menghabiskan semua uang yang dia pegang saat ini.

ㅡㅡㅡㅡㅡ

Minho meneguk lagi vodka yang ada di genggamannya, entah sudah berapa botol dan berapa teguk yang ia habiskan malam ini. Lampu-lampu menyala dengan kerlap-kerlip khas dunia malam, bau alkohol, suara kecipak ciuman disertai desahan dan para wanita yang menggoyangkan tubuh mereka dengan tanpa malunya pada setiap pria yang melintas.

Ya, disinilah Minho berada sekarang. Inilah tempat ia mencari hiburan.

"Hei, aku mau lagi!"

"Kau sudah mabuk, nak. Pulanglah."

Minho sontak menoleh tatkala telinganya tak sengaja mendengar perdebatan diantara bartender dan seorang pemuda bersurai cokelat yang tengah menatapnya marah. Wajah pemuda itu merah, matanya sayu. Menandakan bahwa ia benar-benar mabuk sesuai ucapan sang bartender.

"Aku tidak mabuk, cepat berikan aku satu minuman lagi!" pemuda itu berteriak dengan kesal, sementara sang bartender hanya menghela nafasnya. Minho lantas bangkit, berjalan mendekati keduanya.

Entah apa yang membuat Minho ingin bangkit dan mendekatinya, tapi ia merasa ia ingin melakukannya.

"Ada apa?" tanyanya. Bartender itu menatapnya, begitupula dengan sang pemuda bersurai cokelat. Namun, saat sang bartender hendak menjawab, tiba-tiba pemuda itu ambruk. Buru-buru Minho menangkapnya dengan refleks sebelum tubuhnya jatuh menghantam lantai bar.

"Kan, sudah kubilang dia mabuk. Masih tidak percaya juga." gerutu sang bartender. Minho menatap pemuda itu sejenak, sebelum kembali menatap bartender di hadapannya, "memang berapa banyak yang dia habiskan?"

"4 botol, dia bilang dia sedang lelah. Tapi aku kira dia seorang yang toleran alkohol, tapi ternyata tidak..."

Minho kembali menatap wajah sang pemuda yang ada di pelukannya. Wajahnya memerah padam, pipinya gembil dan ia terlihat begitu mungil di pelukannya. Tanpa sadar Minho menggerakan jemarinya, mengelus pipi pemuda itu sebelum ia menggendongnya secara bridal dan membawanya ke kamar yang disediakan bar ini.

Ia hanya ingin melakukannya, sesuai dengan apa yang ia pikirkan sebelumnya.

ㅡㅡㅡㅡㅡ

tbc.

No Kiss - MinsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang