Second.

99 20 4
                                    

"Uh.."

Jisung mengerang, perlahan ia membuka mata bulatnya. Cahaya lampu remang-remang menyapa penglihatannya.

Keningnya mengerut, sebelum tersadar dan buru-buru terduduk di atas ranjang empuk yang ditidurinya.

"Ah, sudah bangun?"

Dengan kepala yang berdenyut, Jisung menoleh. Matanya mendapati sesosok pria berkemeja putih dengan dua kancing teratas yang sudah dilepas. Surai cokelatnya nampak acak-acakan, bagian lengan kemejanya ia lipat sampai ke sikunya. Satu kata yang tiba di benak Jisung: tampan.

"A-Anda.. siapa?" tanyanya, mengabaikan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Meski ia tampan, ia tetap saja orang asing bagi Jisung.

"Kau pusing?" pria itu justru balik bertanya. Ia menyodorkan segelas air putih pada Jisung, "minumlah dulu. Siapatahu kau bisa lebih baik setelah ini."

Jisung terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menerima gelas itu dan meminum isinya dengan rakus. Kepalanya masih terasa berdenyut, tapi tidak separah saat ia baru membuka matanya tadi.

"Minho." ucap pria itu tiba-tiba. Jisung menatapnya, "M.. Minho?"

"Iya, kau bertanya soal namaku tadi kan? Namaku Minho." Minho mendudukan tubuhnya di sebelah Jisung. "Dan kau.. boleh aku tahu?"

"Jisung. Han Jisung."

Minho nampak mengangguk, kemudian pria itu menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Jisung meremas gelas di genggamannya, suasana mendadak canggung.

"Kenapa kau mabuk? Apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu hingga kau melampiaskannya dengan mabuk?"

Jisung semakin meremas gelas di genggamannya, teringat dengan beban yang ditanggung serta dipikirkannya. Cita-citanya, biaya hidupnya, orangtuanya—

Seketika Jisung merasa bahunya berat. Haruskah ia mengatakannya pada orang asing seperti Minho yang baru dikenalnya?

"Jisung?" panggil Minho, membuat Jisung sedikit terperanjat dari lamunannya. Jisung menunduk, "a-aku.."

"Masalah pribadi? Ah, kalau kau tak nyaman, tak usah dipaksakan untuk bicara—"

"Aku mempunyai cita-cita sebagai seorang produser musik."

Minho menatapnya, Jisung kembali melanjutkan ucapannya, "aku lahir di Korea, tapi keluargaku berada di Malaysia. Aku mendapat beasiswa di Korea Selatan, dan aku pergi kesini. Tapi... tiba-tiba ayahku menyuruhku pulang. Ia bilang ia bangkrut, dan ia tidak bisa lagi membiayai kehidupanku di Korea..."

Jisung menggigit bibirnya sejenak, tiba-tiba saja ia ingin menangis.

"A-Aku tidak ingin pulang, aku ingin meraih cita-citaku." lanjutnya dengan suara yang bergetar. "Tapi ayah bilang, uangnya saat ini hanya cukup untuk biaya pengobatan ibuku yang mengalami sakit stroke. Aku bingung, aku tidak ingin pulang dan meraih cita-citaku tapi di satu sisi ayahku sudah tidak bisa lagi membiayaiku karena penyakit ibuku.."

Setetes air mata mengalir membasahi pipi gembil Jisung. Bahunya bergetar karena isakan, dadanya sesak. Entah kemana rasa pusing yang menghantamnya. Yang ia pikirkan hanyalah soal bagaimana ia melanjutkan hidupnya setelah ini.

"Begitu, ya." ucap Minho yang sedaritadi terdiam mendengar cerita Jisung. Matanya menelisik, ditatapnya Jisung dengan cukup intens. Membuat Jisung balik menatapnya sembari mengusap sisa air mata yang berada di pipinya.

"Kukira, hanya aku saja yang memiliki masalah disini." ucap Minho lagi. "Tapi ternyata.. ada juga orang lain yang memiliki masalah yang bahkan lebih parah."

"M-Memang apa masalahmu?"

"Aku kesepian."

Jisung terdiam, mencoba mencerna jawaban yang terlontar dari mulut Minho. Minho lantas melanjutkan jawabannya, "aku sudah memiliki semuanya, tapi aku tetap saja merasa kurang dan kesepian. Aku pergi kesini, berharap mencari jawaban atas kesepian dan kekurangan yang menghampiriku tapi ternyata sama saja. Aku tetap merasa sepi."

Minho nampak menghela nafasnya, keduanya terdiam setelah itu. Baik Jisung dan Minho nampak termenung dengan isi pikiran mereka sendiri, terutama Jisung.

"Bagaimana kalau kita saling mengisi?"

"Hah?"

Sepasang mata bulat Jisung menatap Minho kaget. Apa maksud pria itu?

"M-Maksudmu?" tanya Jisung. Minho balas menatapnya, "aku akan membiayai kehidupanmu selama kau meraih cita-citamu, tapi dengan syarat kau mau menemaniku atau melakukan hal apapun untuk mengusir rasa sepiku. Apakah itu impas?"

Jisung sontak menelan ludahnya, apalagi saat tiba-tiba Minho mendekati wajahnya. Bibir pria itu mendekat menuju telinganya, bisa Jisung rasakan deru nafas Minho yang mengenai tengkuknya.

"Aku tahu kau paham apa maksudku, Jisung."

ㅡㅡㅡㅡㅡ


tbc, akunya sibuk. hikd. but thanks for everyone who's support me, aku bakal coba dikit2 buat lanjutin ini :D

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

No Kiss - MinsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang