Tiga

209 47 8
                                    

Lia menendang-nendang batu kerikil tak bersalah di jalan yang dilaluinya. Sesekali ia menyentuh daun puteri malu yang mekar dengan sepatunya agar kembali menguncup. Sedari tadi pandangannya juga tidak fokus. Tak jarang gadis itu menoleh ke arah Jongho yang berada tak jauh di belakang sembari memikul setumpuk ranting kering yang akan digunakan untuk api unggun nanti malam.

“Sini biar kubantu.” Lia menengadahkan tangan begitu mereka berdiri sejajar.

“Aku bisa, kok,” Jongho menjawab singkat seraya lanjut berjalan.

“Kamu itu kenapa, sih, Jong?”

“Apanya?”

“Kamu menyuruhku ikut mencari kayu bakar. Tapi kamu malah melarangku membawanya.”

“Kalau kusuruh bawa, baru tiga langkah mungkin kamu sudah mengeluh.”

Lia memutar kedua bola mata malas. “Ada enggak, sih, kata-katamu yang enak didengar? Sudah bagus aku menawarkan diri membantu.”

“Lagi pula ranting-ranting ini kasar. Kamu mau kulitmu tergores?”

“Iya, benar juga. Ya sudah kalau begitu, memang lebih baik enggak kubawa.”

Tanpa memedulikan gumaman Lia, Jongho melangkah lagi, lebih cepat, hingga Lia kewalahan mengejarnya.

“Bisa, enggak, sih, kamu memelankan langkahmu?” protes Lia dengan napas terbata-bata.

“Siapa suruh punya kaki pendek begitu?”

“Memangnya aku yang ingin punya kaki pendek begini, hah?!”

“Ssstt, diam. Jangan berisik.”

“Kenapa?”

“Ini di hutan. Bagaimana nanti kalau penghuninya terganggu?”

Penghuni? Apa maksudmu?”

Jongho mendengus. “Begitu saja enggak paham.”

Sialan. Mendadak Lia jadi merinding. Pepohonan yang tadinya tampak sejuk, kini jadi terasa menyeramkan. Lia jadi teringat film horror yang tokoh utamanya mengalami kejadian-kejadian janggal hingga kesurupan, lalu sosok yang merasuki itu ternyata adalah makhluk raksasa berkulit hitam dengan mata merah darah, lalu si tokoh utama dijadikan tumbal, lalu dibuang ke kawah gunung, lalu….

TIDAK! Lia tidak siap!

Ia berjalan cepat-cepat, hampir disebut berlari, dengan wajah pucat. Tak dihiraukan suara Jongho yang bolak-balik memanggil namanya. Lia sangat takut. Apalagi membayangkan sosok seperti apa saja yang jadi penghuni hutan seluas ini. Bebungaan yang warna-warni kini terlihat seram seakan mereka berusaha menjebak Lia dengan keindahannya. Bekas patahan ranting-ranting pohon bagaikan cacing besar pemakan daging yang siap memangsa Lia. Bagaimana kalau sebentar lagi Lia kepergok oleh makhluk bertubuh hitam itu, kemudian—

AW!”

Jongho yang mendengar jeritan Lia buru-buru mendekat.

Baju Lia kotor oleh tanah, lututnya berdarah lantaran jatuh menghujam bebatuan. Lia menangis sambil mengaduh kesakitan.

“Lia, kamu enggak apa-apa?”

Lia seperti melihat bintang. Sinar matahari yang terang mengingatkannya bahwa ini masih menjelang sore. Langit biru dan awan cerah di langit tertutup wajah cemas Jongho.

Lia kembali memerhatikan lututnya tanpa menjawab. Huhuhu, ia pasti terlihat sangat memalukan.

Jongho meletakkan setumpuk ranting kering yang ia gendong sedari tadi. Matanya sedikit melebar melihat lutut Lia yang mengalirkan darah. “Masa ke hutan pakai dress begini? Untung wali kelas enggak ikut.”

Heartburn || Jongho ATEEZ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang