GO. 1

64 5 0
                                    

Jakarta, 6 Mei 2008

"Sampai kapan pun, saya akan tetap mempertahankannya, meskipun nyawa saya taruhannya."

"Halah. Gak usah sok suci lo! Gue bilang serahin ya serahin! Kalau lo nekat gak mau nyerahin, nyawa lo yang menjadi imbalannya!"

"Silakan. Dan akan saya pastikan kalian akan menyesal telah membunuh saya,"

Orang itu mengitari Eza, papa Ava. Lalu dengan tiba-tiba, dia menancapkan pisau tapat pada jantung Eza.

Kei, mama Ava hanya bisa menjerit tertahan karena mulutnya disumpal oleh sebuah kain. Air matanya tak berhenti mengalir, meratapi nasib sang suami.

"Akhhh..." terdengar rintihan Eza. Lama-kelamaan Eza semakin sulit bernapas. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Eza menatap istrinya penuh cinta sembari menunjukkan senyumnya, senyum yang akan selalu dirindukan. Setelah itu dengan perlahan Eza menutup matanya.

Begitu Eza tak bernapas lagi, ikatan yang melilit di tubuh Kei dilepaskan. Tak ingin menyiakannya, ia berlari menghampiri jasad suami tercintanya, lalu mendekapnya dengan erat dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

"Kalian salah datang ke mari, apa yang kalian cari tidak ada di sini karena beberapa hari yang lalu orang kepercayaan suami saya telah lebih dulu mengamankannya," ucap Kei dengan nada dingin dengan menatap suaminya penuh cinta.

"Kurang ajar!" orang itu tanpa pikir panjang langsung menusuk Kei juga, kali ini dia menusuk hingga tembus melalui mulutnya, darah tak berhenti mengalir. Hingga beberapa menit kemudian Kei menghembuskan napas terkahirnya dipelukan suaminya.

Mereka tidak sadar jika sedari tadi Ava melihat semuanya. Ava kecil sadar jika kedua orangtuanya telah dibunuh oleh manusia tak beradab itu. Tubuh Ava meringkuk dengan kepalan tangan dan rahang yang mengeras. Di dalam hatinya, dia berjanji akan membalas semuanya. Baginya nyawa harus dibayar dengan nyawa. Tak ada air mata, hanya ada tatapan penuh dendam. Sayangnya orang yang telah membunuh orangtuanya memakai tutup kepala, sehingga dia tidak bisa mengenali wajahnya. Tapi ia akan selalu ingat dengan suara itu, suara yang terus terngiang hingga dia beranjak dewasa.

***

Bandung, 17 Januari 2020

"Dari mana lo, jam segini baru sampai?" tanya Re seraya menyesap rokoknya.

"Dari suatu tempat. Jam 8 malam nanti jangan lupa kita kumpul di markas utama." ucap Ava.

"Kenapa sih lo kekeh banget pengen dia mati? Kejadian itu kan udah lama, 12 tahun cuy," tanya Iko, salah satu temannya yang selalu menanyakan alasan dia memburu orang itu.

Ava menatap Iko tajam. Dia paling tidak suka jika ditanya demikian. Dia bahkan sudah mengutarakan alasannya dengan jelas berkali-kali. Dan tekadnya tidak akan goyah sedikitpun.

"Lo belum tau aja, gimana orangtua gue dibunuh di depan mata kepala gue sendiri. Ditusuk tepat di jantungnya dan ditusuk sampai pisau itu melewati mulut. Gue emang masih kecil waktu itu. Tapi gue inget banget gimana fisik orang itu dan suara yang terus terngiang, andai mereka gak memakai topeng, gue pasti bisa ngenalin."

Re menyodorkan rokok ke Ava. "Mau cobain? Buat rileksin badan lo," ucapnya.

Ava melirik rokok itu sekilas, tak ada rasa tertarik sedikitpun di dirinya. "Gak usah. Prinsip gue tetep sama." Ava mengembalikan rokok Re.

"Mau kemana lo?" tanya Cua ketika melihat Ava beranjak.

Ava terus berjalan, tak memperdulikam pertanyaan teman satu geng nya. Saat sampai di atas motornya dia menatap tajam temannya satu persatu.

Game Over [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang