we broke up today

171 18 21
                                    

Dan sepi adalah kekasih. Bersama wangi senja yang memudar ia mendekap erat. Dan diantara pendar cahaya matahari yang membenam, aku tenggelam. Bersama sepi. Kekasihku.

Lalu tentang luka, dari mana aku harus mengeja? Bagaimana?

"Maaf membuatmu menunggu lama." Sebuah suara yang selembut nyanyian pengantar tidur menyapaku. Disertai senyum manis yang terlukis di bibir merahnya. Dalam sekejap, segala lamunanku membuyar karena kedatangannya.

"Tidak apa-apa. Aku juga baru datang," jawabku sambil tak lupa membubuhkan senyum balasan. Hatiku memberat, lalu meringan di waktu yang bersamaan. Entah, aku tak mengerti.

Ia menarik bangku sehingga menimbulkan sedikit decitan. "Apa ada yang ingin kau bicarakan?" Setelah mendudukkan diri di atas bangku, ia bertanya padaku.

"Nanti saja. Kita pesan makan dulu." Dibanding tergesa-gesa mengatakan maksudku mengajak bertemu, aku mengajaknya untuk makan malam terlebih dahulu. Setidaknya, aku juga butuh waktu.

Mengangguk sambil tersenyum tipis, ia menurut padaku. Maka yang selanjutnya terjadi adalah kami sama-sama memesan makanan. Menikmati hidangan dalam keheningan, seolah ada tembok kokoh yang menghalangi kami berdua. Padahal sebenarnya jarak yang kami ciptakan hanya tersekat meja.

Ehm. Aku berdeham lirih, mencoba menetralkan suasana. Juga sebagai upaya untuk mengawali pembicaraan malam ini agar tidak terlalu kaku.

"Akira, ada yang ingin kubicarakan," ucapku pada akhirnya. Sesaat setelah kami berdua merampungkan makan malam.

Ia, perempuan yang kupanggil Akira itu terlihat mengambil napas dalam. Entah mengapa aku jadi merasa seolah udara sedikit memberat.

"Kebetulan, aku juga ingin membicarakan sesuatu," jawabnya kemudian tersenyum. Lagi-lagi ia melukiskan senyum yang entah mengapa terasa sulit kuartikan.

"Oh, benarkah?"

Akira mengangguk. "Kau mau membicarakan apa?"

Aku berdeham untuk kedua kalinya. Menghela napas sebentar, aku lantas berucap padanya, "Aku dipindahtugaskan ke Hokkaido."

Lalu hening. Dalam sepersekian detik, tak ada yang suara yang keluar dari kami berdua.

"Kita mungkin akan sulit bertemu untuk beberapa waktu," imbuhku memecah keheningan yang sempat tercipta.

Kulihat ia sedikit menundukkan kepala. Barangkali, ini menjadi berita buruk yang tak ingin ia dengar dariku. Sebab, jarak di antara kami pelan-pelan akan melebar.

"Kalau begitu..." ucapnya menggantung serupa gumaman, "kita akhiri saja semuanya."

Lalu keheningan datang lagi. Kali ini sedikit lebih lama.

"Maksudmu?" Namun pada akhirnya hanya itu yang mampu kuucapkan sebagai balasan. Aku masih menerka-nerka apa yang sebenarnya ia inginkan.

"Itu yang terbaik untuk kita."

"Tapi kenapa kita harus mengakhiri semuanya?"

"Kenapa kita harus bertahan?"

"Lalu beri aku satu alasan kenapa kita harus berakhir?"

Aku tidak mengerti. Ini menjadi tiba-tiba. Dan seolah kebetulan, di luar langit terlihat gelap.

"Satu-satunya alasan kenapa kita berakhir adalah..."

Aku tahu sepasang netra itu mulai berkabut.

"...karena kau tidak pernah mencintaiku."

Kalimat itu, aku sungguh tidak ingin mendengarnya. Tidak pernah dengan sengaja ingin mendengarnya.

EPOCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang