Namanya Taka. Takahiro Moriuchi lengkapnya. Seorang laki-laki berperawakan sedang dengan tinggi badan seratus enampuluh delapan sentimeter. Aku tidak tahu pasti, tapi itu yang bisa kuperkirakan. Dia memiliki kulit yang bersih untuk ukuran seorang laki-laki. Hidungnya yang mancung dengan derajat kemiringan yang tak bisa kuukur, serta sepasang netra yang berkilau indah. Jernih dan me―
“Akira, kau masih disitu, ‘kan?”
Ah, sepertinya aku tadi sedang melamun secara tidak sadar.
“Y-ya, Tuan. Saya masih disini,” jawabku dengan segera.
“Kau dengar kan apa yang kubilang tadi?”
Mendengar apa? Apa aku baru saja melewatkan sesuatu yang penting? Astaga, aku selalu saja seperti ini.
Terdengar helaan napas di ujung telepon. Mungkin dia sedang memaklumi karena mendengar keterdiamanku selama sepersekian detik. “Baiklah, karena sepertinya tadi kau tidak mendengarku, akan kuulangi sekali lagi,” ucapnya dengan intonasi nada seperti yang sering kudengar setiap harinya, “Untuk sementara, tolong jangan bawa pulang Seira dulu. Aku masih ingin menyelesaikan masalah di rumah dengan Mamanya. Aku hanya tidak mau anakku mendengar hal-hal yang seharusnya tidak dia dengar,” pungkasnya yang membuat kepalaku terangguk dengan spontan.
“Kau mengerti, Akira?” Sebelum aku sempat bersuara, dia berkata lagi padaku.
“Mengerti, Tuan.”
“Baiklah, kututup sekarang.”
Kemudian panggilan benar-benar terputus seiring dengan kerongkonganku yang serasa tercekat. Menyelesaikan masalah, ya? Apa itu tandanya akan ada pertengkaran besar lagi? Entahlah, aku tidak tahu. Dan sepertinya aku juga tidak pantas untuk mencari tahu.
“Bibi Akiraaa!!” Monologku terhenti ketika melihat seorang gadis kecil dengan dua kunciran yang diikat tinggi berteriak memanggilku dari kejauhan. Dia berjalan bergerombol dengan teman-temannya yang memakai seragam serupa. Berjalan ke arahku, gadis itu tidak henti-hentinya memasang senyum lebar. Ah, nak, senyummu mengingatkanku dengan apa yang orang tuamu lakukan di rumah. Kenapa anak semanis dirimu harus melalui hal-hal seperti ini?
Sesaat setelah dia berpisah dengan teman-temannya, dia menghampiriku yang sudah berdiri di depan pagar sekolah. Aku lantas duduk berjongkok untuk menyamakan tinggi badan kami. “Halo, sayang. Bagaimana sekolah hari ini? Seru? Menyenangkan?”
Gadis kecil yang dua bulan lalu baru saja merayakan ulang tahunnya yang keenam itu mengangguk. “Sangat menyenangkan!” balasnya semangat. “Tadi Asami sensei mengajari kami untuk membuat perahu dan pesawat terbang dari kertas lipat, Bibi.”
“Origami?”
Seira mengangguk cepat. “Apa Bibi bisa membuat origami?” lanjutnya bertanya.
Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. “Apa Sei-chan mau membuat origami bersama Bibi?”
Mata gadis itu berbinar―mengingatkanku pada seorang laki-laki yang memiliki binar mata serupa. “Mauuu!! Seira mauuu!!”
Aku mengelus puncak kepalanya dengan pelan. Masih sambil duduk berjongkok, aku berkata padanya, “Kalau begitu, kita harus membeli kertas lipat terlebih dahulu, sayang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH
Fanfictionep·och /ˈepək/ a period of time in history or a person's life ©2020 written by aoihere