Keesokan harinya...
Tepat jam sembilan pagi. Waktunya Nayla dan keluarga berangkat ke Jakarta. Mereka semua sudah berada di dalam mobil. Yap, mobil pribadi tentunya.
Nayla duduk di kursi belakang bersama adiknya Nizam. Ayah duduk di kursi kemudi dan bunda disampingnya. Sedangkan Akhtar? dia memang tidak ikut ke Jakarta. Setelah percakapan kemarin dengan ayah dan bunda, akhirnya Akhtar menyetujui untuk tetap tinggal di Bandung.
Flashback on
"Bang? Abang ada didalam?" Tanya bunda seraya mengetuk pintu kamar Akhtar. Tak lama setelah itu, tiba-tiba muncullah sosok cowok tampan seraya membuka pintu kamar. Yapp Akhtar Syabani, nama lengkapnya. Dia bisa dikatakan seorang most wanted disekolahnya. Bukan karena dia tampan saja, tapi segudang prestasi yang dia punya membuat dirinya dikenal banyak orang.
"Iya bun, ada apa? Tanya Akhtar seraya mengucek kedua matanya. Sangat terlihat jelas bahwa Akhtar baru saja bangun tidur. Bukan!! Lebih tepatnya terbangun karena suara panggilan bundanya.
"Boleh kami masuk?" Tanya bunda. Akhtar kemudian mengangguk dan mempersilahkan kedua orang tuanya untuk masuk.
"Abang izin ke kamar mandi dulu, ya bun. Bentar aja." Bunda pun mengangguk.
Setelah itu Akhtar kembali dengan wajah yang terlihat lebih segar. Ya, dia pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dia pun duduk di depan kedua orang tuanya.
"Alasan kami mengajak kalian pindah karena kami akan menjodohkan Nayla bang. Abang setuju gak kalau seandainya Nayla dijodohkan?"Tanya ayah to the point. Akhtar membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut. Dijodohkan? Kenapa tidak dia dulu sih? Kenapa harus dilangkahin juga? Dan siapa yang akan dijodohkan dengan adik kesayangannya itu? Apa calonnya itu bisa menjaga adiknya? Apa dia baik?semua pertanyaan itu tiba-tiba melintas dipikirannya.
"Dijodohkan dengan siapa, Ayah?" Tanya Akhtar dengan cepat. Dia ingin segera tahu apa alasan dibalik perjodohan ini. Karena utang? Tidak mungkin? Karena wasiat? Siapa yang berwasiat? Atau perjanjian antar teman? Bisa jadi, masuk akal juga, tapi siapa? pikirnya.
"Dia anaknya teman ayah dan bunda," jawab ayah. Tuh kan memang benar dugaan terakhirnya tadi.
"Kalau abang boleh tahu, namanya siapa?"
"Namanya Zaydan Shawqi," jawab bunda dengan wajah berbinar. Akhtar hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Apa abang setuju?" Tanya ayah.
"Kalau ini memang keputusan terbaik, dan kalau ini keinginan Ayah dan Bunda. Abang setuju aja, asal Zaydan itu bisa buat adik abang bahagia. Karena mau bagaimana pun abang tidak akan selalu ada disamping Nayla. Akan ada saatnya dimana nanti abang sibuk dengan urusan abang sendiri," jawab Akhtar. Jawaban Akhtar sukses membuat sang bunda berkaca-kaca.
Bundanya itu tidak pernah menduga bahwa kasih sayang seorang Akhtar terhadap Nayla sangatlah besar. Walaupun mereka tak pernah akur, tapi mereka memiliki ikatan persaudaraan yang sangat kuat.
"Abang tidak apa-apa 'kan kalau kami tinggal. Tenang saja nenek dan kakek akan tinggal sementara disini. Ayah sudah mengurus semuanya." Ucapan sang ayah membuat dirinya tidak bisa lagi untuk menolak. Akhtar hanya mengangguk tanda ia menyetujui keputusan orang tuanya itu.
Flashback off.
"Teteh harus ikhlas ya terima perjodohan ini," ujar ayah memecahkan keheningan.
"Insya Allah," balas Nayla.
Ikhlas tidak ikhlas ya harus tetap ikhlas. Mau Nayla menolak pun perjodohannya akan tetap terjadi. Menolak pun percuma saja, bukan? Lebih baik menerimanya, walaupun sejujurnya Nayla memang kurang setuju. Dijodohkan? Bahkan Nayla tak pernah berpikir akan bertemu dengan jodohnya secepat ini. Apa mungkin seseorang yang akan dijodohkan dengan dirinya benar-benar jodohnya? Hanya memikirkannya sudah membuat Nayla pusing, lebih baik aku tidur batinnya.
****
Beberapa jam setelah itu, akhirnya mereka telah sampai di Jakarta.
"Teh bangun! Kita sudah sampai," ujar bunda sembari menepuk pipi Nayla.
Nayla menggeliat seraya mengucek kedua matanya.
"Udah sampai, ya?" Tanya Nayla seraya melihat keluar jendela. Tidak ada yang menjawab, semuanya malah sibuk mengeluarkan barang yang mereka bawa.
Akhirnya Nayla pun turun dari mobil seraya membawa kopernya dan segera masuk kedalam rumah mengikuti orang tuanya.
Rumah ini masih sama seperti dulu tidak ada yang berubah, semua barang-barang pun masih berada ditempat yang sama. Kenapa Nayla bisa tahu? Karena dulu dirinya dan keluarga sempat tinggal disini. Rumah ini adalah peninggalan opa dan oma nya, lebih tepatnya orang tua dari ayah.
Dulu ketika Nayla menginjak usia 6 tahun, dirinya dan keluarga pindah ke Bandung. Oma dan opa Nayla sudah meninggal dunia dua tahun lalu karena sebuah insiden kecelakaan. Sehingga setelah Oma dan opa nya meninggal, rumah ini tidak ada yang menempati. Tapi ayah Nayla selalu menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk selalu membereskan rumah ini.
Sebenarnya ayah Nayla bukannya tak mau mengajak keluarganya untuk menempati rumah ini dari dua tahun lalu. Tapi mungkin ini waktu yang tepat untuk mereka kembali ke sini.
Mereka semua tengah membereskan semua barang-barang yang mereka bawa. Tidak terlalu banyak, karena di rumah ini bisa dikatakan sudah tersedia segalanya.
"Emm, bun. Kamar aku yang mana?" Tanya Nayla membuat sang bunda menoleh dan menghampirinya.
"Kamar teteh tetap yang diatas, tapi kalau mau pindah juga tidak masalah," jawab bunda sembari menunjuk ke lantai dua.
"Tetap disitu aja deh," ujar Nayla. Bunda pun mengangguk dan memberikan sebuah kunci. Kunci kamar tentunya.
"Mang ujang, bisa tolong bantuin Nayla bawa koper ke atas?" Ucap bunda tertuju kepada seorang pria yang tengah berjalan menuju ke ruang tengah sambil membawa beberapa barang.
"Bisa, bu." Jawabnya. Mang ujang pun menghampiri Nayla. "Ini mau ditaruh dikamar yang mana, neng?"
"Yang pintunya warna putih paling ujung. Sebelumnya terima kasih, mang."
"Iya neng sama-sama," jawab Mang Ujang. Tanpa berpikir lama, mang ujang pun membawa koper milik Nayla. Tak lama setelah itu Mang ujang kembali dan menghampiri Nayla. Saat itu Nayla sedang berada didapur membantu bundanya menyiapkan makan siang.
"Ada apa, mang?" Tanya Nayla.
"Eh anu neng. Itu pintunya masih dikunci jadi mamang taruh kopernya diluar."
"Oh tidak apa-apa mang. Biar nanti aku aja yang masukin ke kamar," jawab Nayla dan Mang Ujang pun mengangguk.
"Yaudah, neng. Kalau nanti butuh apa-apa tinggal panggil mamang aja, ya." Ujar mang ujang membuat Nayla mengangguk.
***
Waktu terasa begitu cepat, sebentar lagi akan masuk waktu shalat maghrib.
Saat ini Nayla sedang berada diruangan kesukaannya, ruangan yang banyak menyimpan kenangan, ruangan yang dapat Nayla gunakan untuk menyalurkan hobinya.
Ya, ruangan ini adalah ruangan seni. Memang benar, dari sejak kecil Nayla sangat menyukai hal-hal yang berbau seni. Seperti melukis dan memainkan alat musik. Untuk kedua hobinya itu, Nayla patut diacungi dua jempol. Bahkan ketika Natya masih TK, Nayla pernah menjadi juara satu dalam perlombaan melukis tingkat Nasional. Dan bermain alat musik, Nayla sangat suka memainkan piano, gitar, dan biola.
Tidak heran, jika dulu Oma dan Opanya sengaja membuat ruangan ini. Orang tuanya pun sangat mendukung dengan apa yang disukai oleh puterinya ini, asalkan positif dan memiliki manfaat.
Allahuakbar.. Allahuakbar..
Suara adzan terdengar sangat jelas ditelinga Nayla. Ia pun segera keluar dari ruangan itu dan bergegas untuk mengambil air wudhu. Setelah itu Nayla melaksanakan shalat berjamaah dengan bundanya di mushola, tepatnya ruangan yang disulap menjadi mushola. Sedangkan ayah, adiknya dan Mang Ujang pergi ke Mesjid untuk melaksanakan shalat berjamaah yang tak jauh dari tempat tinggal mereka.
****
Alhamdulillah beres juga..
Maaf kalau part ini pendek🙏🙏
Typo bertebaran.
Voment dan krisarnya jangan lupa👌❤
@istikhryyah_
KAMU SEDANG MEMBACA
NAYLA
Fiksi Remaja"Jodoh itu cerminan diri. Tapi bisa jadi jodohmu itu sahabatmu sendiri." . . . ".... Nay, ini Umi Hana dan ini Abi Ridwan. Dan itu anak Umi sahabat masa kecil kamu, Zaydan," . . .