Selama ini aku tidak pernah di beri izin oleh orang tuaku untuk naik gunung. Alasannya, kegiatan itu terlalu bahaya untuk wanita. Apalagi kegiatan seperti itu selalu di dominasi oleh anak laki laki.
Sebagai orang tua mereka terlalu menyayangiku, dan itulah yang membuatku berat. Terkadang aku malu ketika membantah mereka dengan pergi diam diam tanpa sepengetahuan mereka. Entahlah, sampai sekarang aku tidak tahu kenapa hutan memainkan salah satu peran penting di dadaku. Tapi apapun itu aku hanya ingin berdamai dengan nya.
Untuk mencapai titik yang ku mau memang tidaklah mudah . Ada banyak rintangan yang selalu menunggu di depan mata. Terkadang aku harus bergulat dulu dengan ego, terkadang aku juga harus bisa melampaui rasa takut, bahkan terkadang aku juga harus bisa mengacuhkan rasa lelah.
Disini akan ku ceritakan sebuah pengalaman yang pernah ku alami di bulan April 2019. Kala itu aku dan teman teman ku hendak menikmati suasana malam Minggu di dalam rimba si manis Burangrang.
suasana langit di katapang agak muram sore itu. Sebagian cahaya matahari nampak bersembunyi di balik awan. Sama seperti suasana hatiku yang kelabu dan merana.
Pikiranku langsung kusut setiap kali membayangkan nasib hubunganku dengan Edo. Sudah satu bulan ini sikap Edo berubah, dia nyaris tidak punya waktu untukku. Setiap waktunya selalu saja di habiskan dengan teman-temannya.
Sore itu juga aku sedang datang bulan sehingga tingkat emosionalku benar benar meningkat. Aku mulai tidak tahan berdiam diri di rumah. Tapi aku juga tidak bisa apa-apa, tidak ada agenda yang bisa kulakukan selain rebahan sambil main handphone.
Tiba tiba sebuah notifikasi dari WhatsApp grup menarik perhatianku. Aku berharap ada sesuatu yang menarik disana, sehingga aku menggerakkan jempol tangan untuk melihat isi percakapan mereka.
"Bang Jo: siap lur..."
"Tamsoll: gue OTW.. jadinya berapa orang ey"
Benar saja mataku langsung terbelalak melihat cuplikan percakapan itu, rasanya nyawaku sudah berkumpul kembali. Aku langsung mengirim pesan ke bang Jo.
"Saya: kemana gaya.."
"Bang Jo: Burangrang ceu, kuy.....ah"
"Saya: ikut bang, jam berapa?"
"Bang Jo: OTW...."
"Saya: tapi jemput yah, aku gak bisa bawa motor."
"Bang Jo: siap... sekarang Abang ke katapang."
Untungnya orang tuaku sedang tidak ada di rumah, jadi aku leluasa pergi walaupun harus sedikit terburu-buru. Aku, bang Jo ,tamsoll , ale dan Asep berangkat jam setengah enam Maghrib dari soreang naik sepeda motor.
Jam setengah tujuh kami sampai di Cimahi dan berhenti di depan rumah sakit Yudistira untuk istirahat dan mencari mesjid sambil menunggu Gufron yang masih kerja.
Disinilah aku baru sadar, kalo aku dan bang jo tidak memakai helm bahkan jaket. Setelah memeriksa dompet, ternyata bang Jo juga tidak membawa STNK. Seketika kami langsung bengong. Terutama aku. Bagaimana kalau kami di cegat polisi terus motornya di ambil. Terus orangtuaku tau. Ah aku mulai cemas.
"Sudahlah jangan dipikirin. Urusan nanti serahin aja ke allah. Gak bakal kenapa kenapa kok, percaya deh" bang Jo berusaha menenangkan aku. " Berdo'a saja." lanjutnya.
Butuh banyak kesabaran ketika kami harus menunggu Gufron. Sudah Jam 10 malam gufron belum juga datang. Sampai sampai ale, asep dan tamsoll ketiduran di pinggir jalan.
Bang Jo masih saja asik meremas layar hpnya. Tak ayal bibirnya tiba-tiba tersenyum. Tak salah lagi, pemuda itu sedang kasmaran. Ya, pastinya ceweknya pengen chattan terus. Bang jo kan pengertian, makannya di turutin. Aku ngerti kok, toh kami sama-sama perempuan. Aku jadi iri sama perempuann itu. Andai aja si Edo bisa pengertian seperti bang jo. Ah mimpi. Aku sendiri cuma duduk mengamati bang Jo, sambil menikmati suasana malam yang cukup ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
perjalanan ke gunung Burangrang
Horrorini kisah mistis perjalanan ku dan kelima teman ku ketika hendak mengisi malam Minggu dengan pergi ke gunung Burangrang.