Terkadang kita lupa sebagai apa kita diciptakan~ anonym.
____________________________
________________________Riuh, bising, gemerlap, asap, kendaraan berjejal itulah sedikit gambaran Jakarta, ibarat kota yang tak pernah beristirahat. Penuh sesak manusia untuk memenuhi keinginannya. Menjadi migran salah satu pilihan untuk mengubah kondisi hidup misalnya. Tak mampu bersaing akan terpinggir, tak mendapat pekerjaan memperbesar angka kejahatan.
Seperti yang aku lihat tadi sepulang dari belanja. Ketika aku berhenti saat lampu merah, mataku menangkap sosok kecil yang menjadi objek kejahatan mereka yang tak berhati.
Sosok kecil itu seperti tak punya pilihan untuk menolak ketika diperas tenaganya. Bergelut dengan asap dan debu jalanan setiap harinya. Miris hati ini.
Ketika si anak itu berjalam kearahku dengan bernyanyi dan gitar kecilnya, berharap mendapat sedikit uang dari ku atau orang lain.
Aku biarkan dia menuntaskan lagunya. Tetapi lampu merah berganti hijau. Aku menjalankan motorku, lalu meminggirkannya.
Kupanggil si anak itu "Dek,,," aku berjalan menghampirinya."Boleh kakak minta satu lagu lagi?" Tanyaku.
"Emm boleh kak. Mau lagu apa?"
"Lagu akad dari payung teduh ?"
"Siap ka." Ucapnya seraya tersenyum.
Setelah si anak itu selesai bernyayi, aku memberinya uang lima puluh ribu.
"Ini buat kamu, terimakasih ya kamu sudah mau nyanyiin kakak. Uang ini kamu simpen ya jangan di setorin ke abang yang tadi. "
Ada binar bahagia diwajahnya ketika aku memberinya imbalan.
"Sama- sama kak, terimaksih banyak ya."
Setelah itu dia pergi dengan kebahagian yang menyelimuti.
Kadang bahagianya seseorang dititipkan Tuhan pada kita. Menjadi perantara kebaikan yang dimiliki Nya. Terkadang kita lupa sebagai apa kita diciptakan. Masih merasa paling baik tapi kenyataannya kosong, merasa bisa segalanya tapi kenyataannya hanya seperti buih di lautan lepas.
🌼🌼🌼
Sekitar pukul sebelas aku sampai di rumah. Aku langsung membongkar barang belanjaanku dan menyimpannya sesuai tempat.
Setelah itu aku mulai membersihkan rumah yang sedikit kotor. Kemudian merendam pakaian kotor punya mas Abil dan punyaku. Ngrendemnya beda ya, ga dicampur.
Sebenernya mas Abil ingin membeli mesin cuci, tapi aku melarangnya. Aku bisa mencucinya dengan tangan. Mending uangnya ditabung buat nikahin anak orang hehe.
Mencuci bukan hal yang berat bagiku. Sejak dipondok dulu kita, para santri dibiasakan hidup sederhana untuk bekal kedepannya.
Setelah merendamnya cukup lama barulah aku mengucek dan menyikat bagian yang sangat kotor. Lalu mebilasnya dan menjemurnya di bagian belakang rumah.
Sekitar pukul 17:00 mas Abil pulang dengan mobil milik Abah dulu. Oh ya sejak musibah itu memang mas Abil yang menggunakan mobil kita dulu, sedangkan aku menggunakan vespa putih milik mas Abil dulu.
"Assalamualaikum..." salam mas Abil.
" Waalaikumsalam, sebentar..." jawabku dari dalam.
"Bau- bau bahagia nih. Ada apa gerangan ini? Cerita dong!"
"Mau mandi dulu nanti abis maghrib mas cerita."
"Siapp deh."
Sebenarnya rasa penasaranku sudah di ubun- ubun, tapi sedikit tau diri lah mas Abil butuh istirahat dulu.
Setelah sholat maghrib aku sempatkan ngaji seperempat juz ( 5 halaman ).
Tok tok tok
"Ca, boleh masuk?"
Aku menyudahi bacaanku.
"Boleh, masuk aja."
Mas Abil masuk kemudian ikut duduk di karpet bawah.
"Sudah siap cerita?" Tanyaku.
"Sedikit deg deg an sih."
"Oke, Mas mau khitbah anak orang." Katanya sesantai mungkin.
Terkejut dong pasti, ga ada angin tiba- tiba udah mau khitbah anak orang aja.
Aku masih melongo dengan pernyataan tadi.
"Ca, mau dengerin cerita nggak?"
"Ehh,, lanjut mas."
"Namanya Nadia, orang Surakarta. Dia adek kelas mas paa SMP. Dua bulan lalu mas ngajuin CV ta'aruf ke dia dan responnya positif. Setelah mas minta petunjuk sama Allah, mas bilang mau lanjut ke langkah selanjutnya. Dia sudah matur sama keluarganya dan mas disuruh secepatnya menemui keluarganya."
Aku tersenyum haru, sebentar lagi perahu mas Abil berlabuh. Meninggalkan perahuku di lautan lepas.
"Mas udah ngomong sama pak de Salim tentang kabar ini, dan meminta bantuannya. Rencana sabtu depan acara khitbahnya, tapi kita ke Solonya Jum'at pagi ya. Sowan dulu sama Abah dan ibu."
" Mas nanti jangan tinggalin Caca ya." Pintaku dengan suara serak mau menangis.
Mas Abil memelukku. Pelukan yang menenangkan.
"Mas nggak akan ninggalin Caca sampe nanti ada orang yang minta kamu dari mas."
Mas Abil mengurai pelukan.
"Makan di luar yuk. Kamu belum masak kan?"
"Hehe, tadi aku ketiduran. Ya udah sana keluar. Caca mau ganti baju dulu."
"Cepet. GPL" katanya seiring menutup pintu kamar ku.
Cukup lima menit aku sudah berganti pakaian.
"Yuk mas."
"Naik motor apa mobil?"
"Motor. Nih kuncinya"
"Yuk la."
Setelah muter- muter, akhirnya kita sepakat makan di warung tenda yang cukup ramai.
"Mas aku ayam penyet sama es teh" bisik ku pada mas Abil.
"Mas,, pesen ayam penyetnya satu, pecel lele satu, es teh dua." Pesan mas Abil pada pelayan laki- laki.
"Iya mas, mohon tunggu sebentar ya."
Kondisi warung tenda ini cukup ramai. Orang- orang keluar masuk membeli makan. Aku merasa pundak ku di sentuh.
"Aisya,,,?"
Aku menoleh
"Eh,,iya bu?"
Aku mencoba mengingat ibu itu, tapi nihil aku tak mengingatnya.
"Kamu sepertinya lupa, saya Aminah, yang kamu bantu tadi pagi."
"Oh iya bu. Maaf saya memang pelupa" aku menyalaminya.
"Kamu sendirian ?" Tanyanya.
"Ehh,, tidak bu. Saya sama kakak saya."
"Bu Aminah sama siapa?"
"Itu sama anak saya." Dia menunjuk sosok jangkung di luar tenda. Sosok bermasker abu- abu. Sama seperti tadi pagi.
"Saya duluan ya."
"Iya bu. Hati- hati" aku menyalaminya kembali.
Terimakasih buat temen- temen yang sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita saya. Hehe ceritanya belum bagus sih, maklum ya baru belajar :)
Minta dukungannya ya. Kritik dan saran terutama.
Oke, selamat malam dan selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Semoga Ramadhan tahun ini memberi perubahan pada pribadi kita. Wassalam.
18 Ramadhan 1441 H.
Arikida
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Destiny
SpiritualMenurutku mencintai kamu itu rasanya seperti permen super zupper asem tapi akhirnya manis ~ Aisyah Hurun Nahda