▪️4 - aleira

250 34 4
                                    

—flashback—

Surakarta, April, 2015

Gue nyaris menubruk Kea gara-gara bocah itu tiba-tiba berhenti berjalan. Ekspresinya menegang, keliatan banget shock dengan apa yang dilihatnya.

Emangnya apa sih, yang dia lihat? Gue jadi kepo.

"Al....,"

Gue mengikuti arah telunjuknya.

Dan tadaa! Kedua bola mata gue nyaris mau keluar dari tempatnya.

Dua lelaki yang gue sama Kea liat minggu lalu pas lagi brunch di Dapur Sandwich, sedang berjalan ke arah kami.

Gue pengen mangkir tapi gak tau kenapa kayak ada paku di kaki gue. Jadinya gak bisa gerak, mati rasa.

Begitu pun Kea. Gue ngelirik dia yang masih mematung dengan ekspresi begonya. Gue tepok jidat.

Pandangan gue balik pada kedua orang titisan malaikat itu. Gak ding, lebay.

Intinya, gue ngeliatin mereka lagi.

Kebetulan, satu clue mengenai siapa gerangan mereka bertambah. Saat ini, keduanya sedang mengenakan jas lab dan terlihat tengah bersenda gurau.

Ah, lebih tepatnya gebetannya si Kea yang ngelawak garing sedangkan gebetan gue cuma nanggepin dia ala kadarnya. Udah gitu ekspresinya datar banget, cuma sesekali aja ngangguk-ngangguk. Kasian dah, temennya. Kayak ngoceh sama tembok.

Sementara itu, di tangan keduanya terdapat buku praktikum. Kayaknya sih, mereka baru saja selesai ngelab di lab anat dan hendak kembali ke gedung kampus utama mereka.

Fix mereka anak prodi sebelah. Kedokteran. Ahaha, ternyata kami masih satu fakultas. Apa ini kali ya yang dinamakan jodoh tidak kemana?

Mimpi lo ketinggian, Le.

"Permisi, mbak."

"Hah?"

Gue sama Kea cuma melongo bego.

"Maaf mbak, kami mau lewat."

Gue yang sadar duluan buru-buru menarik tangan Kea dan mendorongnya ke pinggir.

"Maaf mas, tadi ngelamun." jawab Kea dengan senyum begonya. Gue yakin otaknya pasti ngadat ngeliat gebetannya dalam jarak sedekat itu.

Gue jadi pengen nampol muka begonya itu. Hih.

"Haha santai aja mbak, duluan ya." Lelaki berkacamata dengan paras blasteran western-oriental itu tersenyum ke arah kami berdua sebelum berlalu dari sana.

Sementara gebetan gue, tidak mengucap sepatah katapun. Boro-boro nyapa, senyum dikiiiit aja juga enggak.

Hanya saja... kedua manik bulat beriris cokelat gelap itu sempat beradu pandang sama gue selama sepersekian detik sebelum dia memutuskannya terlebih dahulu dan berjalan mengikuti gebetan Kea dalam diam melewati kami.

Hiks, sedihnya.

Keduanya menuruni tangga yang menjadi penghubung antara gedung jurusan kami dengan jurusan mereka.

Satu kata yang muncul setelah berpapasan dengannya dalam jarak sedekat itu; dingin. Tatapan matanya menusuk dan membuat gue merasa sedikit menggigil.

Berbeda dengan si cibul gebetan Kea yang cenderung hangat. Buktinya dia ramah dan murah senyum.

"Al gue meleleh Al," Kea memegang wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus.

Gue milih pura-pura budek.

"Ini gue gak mimpi kan ya," gadis bersurai hitam sebahu itu senyum-senyum sendiri.

"Jantung gue,"

Gue memutar mata malas. Keara in fangirling mode on. Alaynya kumat, sodara-sodara.

Gak tau kenapa gue jadi kesel sendiri. Mungkin ya, karena gue iri gebetan gue gak sehangat gebetan dia, alhasil gue malah jadi ngelampiasin kekesalan gue ke Kea.

"Apaan sih lo lebay." Gue mengambil helm bogo gue dan memakainya. "Wajar dia gitu orang kita ngalangin jalannya dia."

"Halah bilang aja lo sirik gara-gara dijutekin gebetan lo yang jutek mampus. Udah dekil, jutek lagi, iyuh." Kea menjulurkan lidahnya menyebalkan.

"Brisik lo."

Gue mulai memasukkan kunci motor Kea ke dalam stop kontak Beato, nama motor Beat hitam milik Kea yang berjasa menjadi alat transportasi kami selama menimba ilmu di tanah rantau yang serupa dengan neraka bocor ini.

"Yang penting ganteng." Kea memasang helm SNI nya dengan bersenandung.

"Naik kaga lo? Kalo nggak gue tinggal," ancam gue yang berhasil membuat Kea menaiki jok belakang gue.

"Motor motor gue kok gue yang ditinggal. Lucu lo." katanya sesaat setelah motor melaju.

"Dasar lemot." ledek gue dari kaca spion.

"Bodo amat, yang penting gak jutek."

"Babi."

"Yang penting murah senyum."

"Bacot."

"Yang penting unyu pengen kuunyel-unyel ihhh gumush."

"Diem."

"Yang penting-"

"Iye-iye ah, mau makan mana nih?"

"Mana aja boleh asal lo yang mikir."

"Ngeselin lo!"

Gue mempercepat laju Beato dan mengabaikan jeritan menghebohkan dari seorang bocah yang sedang menarik-narik kaus angkatan gue waktu SMA.

Bodo amat, salah siapa ngeselin.

Nggak deng, gue aja yang iri, terus ngelampiasin ke Kea, gara-gara bete sama sikap dinginnya mas ganteng.

Hehe, maap Key.

Palpitasi Atrium Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang