"Tuan, kembalikan hati saya yang sudah Tuan curi," mohon Sang Gadis.
Tuan-nya tersenyum miring, meremehkan, "aku tak mencurinya, kaulah yang memberikannya secara cuma-cuma."
Sang Gadis terdiam, sedikit setuju dengan perkataan Tuan-nya itu.
"Kau ingin hati ini kembali?" tanya Tuan-nya.
Sang Gadis mengangguk, lalu menatap Tuan-nya penuh harap.
"Sepertinya akan asyik jika aku bermain dengan hatimu sebentar sebelum kukembalikan hatimu padamu," ucap Tuan-nya, dengan senyum miring yang masih terpampang di wajah tegas dan rupawannya.
Lalu, Tuan-nya mengeluarkan pisau kecil dari dalam saku celananya. Pisau itu terlihat mengkilap dan tajam. Mungkin, sehelai rambutpun bisa dibelahnya.
"Tuan―"
"Diam!"
Sontak kalimat yang akan dilontarkan Sang Gadis tertahan di tenggorokan. Sesak.
Tuan-nya mulai mendekatkan pisau itu ke hati Sang Gadis, merobeknya perlahan, menggesekkan pisau itu pada hati Sang Gadis― membuat banyak sayatan. Tak peduli sakit yang dirasakan Sang Gadis, ia terus memberikan sayatan.
"Sepertinya sudah cukup," ucap Tuan-nya.
Sang gadis hanya diam, berharap Tuan-nya tak melakukan sesuatu yang lebih daripada ini. Ia takut.
"Dan yang ini―"
Tuan-nya mengangkat tangan keatas, lalu menghunus pisau kecil itu ke hati Sang Gadis tanpa belas kasihan.
"—penutup."
Darah segar mengalir, air mata terurai, gadis itu terkulai. Tak punya tenaga, ketakutan, dan mati rasa.
—
mati rasa,,kek genre psiko tpi bukan 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
rumit
Short StoryHari di mana kita harus mengucapkan selamat tinggal - -cadburry