Un

540 52 45
                                    

Prancis. Satu kata beribu makna. Ya, ketika mendengar kata 'Prancis' mungkin hanya ada satu hal yang langsung terlintas di kepala, yang lain dan tak bukan lagi; Menara Eiffel nan megah itu. Menara dengan struktur besi yang cukup kontroversial sepanjang sejarah itu dibangun pada tahun 1887 dan selesai pada tahun 1889. Siapa sangka monumen yang hampir dijual sebagai besi rongsokan ini merupakan monumen berbayar yang paling banyak dikunjungi di dunia? Terdengar sangat fantastis, bukan? Hanya dengan mendengar namanya saja kalian akan langsung bisa membayangkan keindahan serta kehangatan kota Paris. Namun, dibalik semua keindahan dan kehangatan itu, terdapat kisah pilu yang mungkin jarang diketahui oleh banyak orang. Ah ya, sampai lupa, aku Hwang Yeji. Delapan tahun menetap di bagian barat daya Prancis tidak membuatku lelah memuji keindahan kota Paris.

Barat daya Prancis, lebih tepatnya La Roque-Gageac. Tempat paling indah di Périgord Noir. Sebuah desa kecil yang dibangun di sepanjang tepi kanan sungai Dordogne. Tebing kapur yang menjulang tinggi memberi nilai lebih untuk mendatangkan turis dari berbagai belahan dunia. Sering dijadikan destinasi fotografi, membuat desa yang membelakangi tebing kapur ini ramai pengunjung setiap harinya. Namun tidak perlu khawatir, kami—masyarakat yang menetap di salah satu surga di tengah hingar-bingarnya kota dengan populasi yang lumayan padat—tetap dan akan selalu menjaga keasrian desa yang memiliki populasi sekitar 412 jiwa, dengan penataan yang unik memberi kesan sempit dan hangat.

Hijaunya daun pepohonan yang rindang memanjakan sejauh mata memandang. Di sana lah aku tinggal, yah walau kebanyakan orang mengadu nasib di kota besar, aku lebih memilih tinggal di pedesaan karena rasanya lebih nyaman. Namun, bukan berarti kami beraktivitas dengan cara yang primitif, tentu tidak. Seiring berjalannya waktu, teknologi mengalami evolusi, mau tidak mau kami manusia juga ikut berevolusi. Petani atau nelayan yang menjadi sumber mata pencaharian utama di tempatku tinggal mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mereka tidak perlu membajak sawah secara manual, tidak perlu memanfaatkan angin untuk berlayar. Semuanya serba praktis, tidak memakan waktu cukup banyak, dan hemat tenaga. Yang terpenting adalah ramah lingkungan.

"Bonjour!" Wanita paruh baya yang bertempat tinggal tepat di sebelah rumahku menyapa dengan suara lembut serta senyum manis menghiasi bibirnya, membuatku teringat akan ibuku yang berada di kejauhan sana. Aku beranjak dari dudukku untuk memberinya pelukan hangat. "Dengar-dengar akan ada yang datang hari ini." Ucapannya sukses membuatku terkejut setengah mati. Aku yang sedang bersantai langsung saja berlari masuk ke dalam rumah, tidak peduli wanita paruh baya itu memanggili namaku berulang kali. Mengganti pakaian, menggendong tas ransel di bahuku lalu kembali berlari untuk menaiki mobil sedanku. Demi Tuhan, bisa-bisanya aku lupa menjemput klienku pagi ini. Mati sudahlah aku!

Membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih akhirnya aku sampai di Bandara Toulouse-Blagnac dengan suasana hati tidak baik—tentu saja! Aku terjebak macet, bahkan belum sempat mengisi perutku. Tapi semua itu tidak sebanding dengan sebuah fakta bahwa aku telat menjemput klienku. Selama di perjalanan aku tidak dapat behenti merutuki diriku sendiri akibat kebodohanku itu. Demi Tuhan, Yeji, kenapa bisa-bisanya kau bersantai sampai melupakan pekerjaanmu sendiri?

Berjalan dengan langkah tergesa-gesa sambil memeriksa beberapa catatan yang menurutku penting dengan kepala menunduk, hampir membuatku berkali-kali menabrak orang. Untung saja sebagian dari mereka tidak memarahiku, hanya saja raut wajah mereka terlihat seram. Masa bodoh! Yang terpenting adalah klienku. Aku sudah berada di terminal satu dan aku bingung harus melakukan apa selain celingukan. "Telat satu setengah jam." Gumamku setelah melihat jam di pergelangan tanganku. Bagaimana jika setelah ini aku kehilangan pekerjaanku? Aish, sial aku tidak pernah berpikir sejauh itu.

Choi Jisu. Aku menulis nama klienku di papan nama yang selalu kubawa di tas ransel. Setelah membaca namanya dua hari yang lalu, spontan bibirku tersenyum. Aku senang dengan sebuah fakta bahwa aku akan bertemu dengan seseorang yang berkebangsaan sama sepertiku, kemudian rasa rindu langsung menyerangku. Ya, aku rindu tanah kelahiranku mengingat sudah hampir tiga tahun aku tidak kembali ke Korea. Membicarakan tentang klienku, aku menanyakan ciri-ciri penampilannya semalam sebelum ia datang kemari. Tujuannya agar aku dapat dengan mudah menemukannya. Ia bilang ia memiliki rambut panjang coklat tua, tinggi sekitar 160 cm, dan tentunya mata sipit—yang tidak terlalu sipit katanya. Aku pun memberitahu ciri-ciriku. Sekarang aku sangat penasaran, kira-kira wajahnya akan seperti apa ya? Apakah dia seusiaku? Atau dia jauh lebih muda dariku?

Somewhere InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang