BAB 3

6.6K 1.2K 218
                                    

"Fate is like a strange, unpopular restaurant filled with odd little waiters who bring you things you never asked for and don't always like."
- Lemony Snicket

NADIA Pramesti adalah sosok paling rumit yang pernah Theo temui.

Pertama kali Theo mengenalnya adalah saat kenaikan kelas 11. Gadis itu murid pindahan, pendatang dari Yogyakarta. Ia punya hal-hal yang membuatnya gampang mendapat teman baru. Cantik, pintar, dan menyenangkan. Itulah kesan pertama kebanyakan orang terhadap Nadia.

Tapi tidak dengan Theo.

Sejak pertama kali Nadia memasuki ruang kelas, Theo sudah menyadari keganjilan di diri gadis tersebut. Dia selalu menatap lawan bicaranya dengan cara yang aneh, seperti seorang pemburu yang tertarik dengan hewan buruannya.

Lalu kemudian Theo sadar, ia sedang menganalisis mereka. Bagaimana karakternya dan apa yang dia inginkan darinya. Lalu persis seperti itulah Nadia bersikap. Memainkan perannya dengan sempurna.

Lama kelamaan, Theo muak. Ia menghampiri Nadia dan melabraknya tanpa pikir panjang.

"Apa mau lo sebenarnya?"

"Ha? Maksud lo apa? Gue nggak ngerti."

"Nggak usah pura-pura bego," Theo mendengkus. "Lo selalu mengamati dan menganalisis orang-orang. Terus lo bertingkah sesuai bayangan mereka terhadap lo."

Gadis itu tertawa.

Benar, tertawa. Sama sekali tidak terlihat panik ataupun takut.

"Ternyata masih ada orang yang otaknya jalan di sekolah ini," kata Nadia santai. "Iya, elo bener. Pinter juga lo."

Theo menahan diri untuk tidak tersenyum senang. Dia jarang dipuji pintar. Sekolah mereka sebagian besar berisikan murid-murid yang rutin ikut olimpiade. Bukannya Theo bodoh, hanya saja dia tidak sepintar mereka. Bukan di bidang eksakta.

"Jawab gue. Apa mau lo sebenarnya?"

Nadia mengerjap-ngerjap. "Gue anak daerah, pindah ke kota metropolitan kayak gini sendirian tanpa kerabat ataupun saudara. Gue harus melakukan apapun biar bisa bertahan. Itu aja," jawabnya ringan.

Anak daerah. Sendirian. Harus melakukan apapun biar bisa bertahan.

Ia mengatakannya seolah itu bukan apa-apa. Tapi, Theo bisa melihat sendu yang membayang di matanya.

Theo menghela napas. "Gue Theo," katanya sambil mengulurkan tangan. "Gue bisa bantu lo beradaptasi. Jadi... sekarang lo nggak perlu sendirian lagi."

Waktu itu, Nadia menjabat tangannya dan melemparkan senyum tulus sungguh-sungguh. Beberapa lama kemudian, Theo baru sadar bahwa Nadia juga sedang memanipulasinya.

"Gue tau lo gampang bersimpati sama orang," kata Nadia santai kala itu. "Apalagi sama orang yang hidupnya mirip sama hidup lo. Sama-sama kesepian."

Dia mungkin tampak seperti malaikat, tapi sebenarnya Nadia adalah jelmaan iblis.

Tapi yah, peduli setan dengan itu. Sejak awal pertemanan mereka memang tidak didasari sincerity. Theo memberi Nadia pekerjaan untuk bertahan hidup dan Nadia memberi Theo afeksi dan rasa nyaman yang tak bisa ia dapat dari orang lain. Simbiosis mutualisme, give and take. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?

Tapi hingga kini pun Theo tak pernah bisa mengerti jalan pikiran Nadia saking jeniusnya dia. Satu-satunya hal yang membuat Nadia manusiawi adalah bahwa dia masih bisa jatuh cinta.

Retrouvailles : (Bukan) Rama dan ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang