BAB 1

12.5K 1.5K 397
                                    

"To live is the rarest thing in the world. Most people exist, that is all."
- Oscar Wilde

RAMA memejam, menarik napasnya dalam-dalam. Lalu perlahan ia membuka mata. Menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, berbanding terbalik dengan pemukiman kumuh nan menyedihkan di seberangnya. Menatap langit ibukota yang tak lagi biru karena tercemari oleh polusi. Menatap pemandangan Jakarta untuk terakhir kali, karena sebentar lagi ia akan mati.

Tidak. Rama tidak sedih, apalagi takut. Sedih? Untuk apa ia sedih padahal ia justru akan keluar dari kumpulan peristiwa repetitif membosankan bernama kehidupan. Ya, bagi Rama, hidup itu cuma permainan penuh kecurangan yang diciptakan Tuhan, dan kita semua adalah bidaknya. Sementara rasa takut sudah tercerabut dari diri Rama sejak dia menyaksikan ibunya tewas bergelimang darah dengan mata kepala sendiri.

Selamat tinggal, Jakarta, batin Rama. Selamat tinggal macet ibukota. Selamat tinggal sepeda ontel di Kota Tua. Selamat tinggal tsurikawa di Transjakarta.

Tunggu Rama, Ma.

Rama memejamkan mata.

Satu langkah lagi.

Satu langkah lagi menuju kebebasan.

Satu langkah lagi.... menuju Mama.

"Om?"

Rama terkesiap, lamunannya seketika buyar. Ia menoleh pada gadis kecil yang berdiri di pintu masuk. Gadis itu menatapnya polos, tak sedikitpun menyiratkan rasa takut atau khawatir.

"Om mau bunuh diri?"

Ya iyalah, pake nanya lagi, rutuk Rama dalam hati. Memangnya ada orang normal yang berdiri di atas atap apartemen setinggi dua belas lantai?

"Kalau iya, memangnya apa urusan kamu?" Rama menghela napas jengkel, menatap gadis kecil itu galak.

"Nggak ada, sih," jawabnya kalem. "Aku cuma mau ngasih tahu. Kalau Om mau bunuh diri... tuh, gedung di sana lebih tinggi." Ia menunjuk ke gedung pencakar langit lainnya di seberang.

Mendengarnya, Rama terbelalak tak percaya. "Kamu... nyuruh saya bunuh diri?" tanyanya kaget. "Harusnya kamu teriak-teriak! Atau at least manggil bantuan lah."

Bocah itu mengernyit tak mengerti. "Buat apa?"

Rama melongo, sempurna dibuat takjub sekaligus ngeri.

"Kamu nggak takut?" tanya Rama lagi. "Ini saya mau loncat, loh. Loncat beneran!"

Gadis itu tampak semakin bingung. "Yang bilang Om mau loncat bohongan siapa?" balasnya.

"Terus, kenapa kamu nggak berusaha mencegah saya, kayak yang seharusnya dilakukan manusia normal lainnya?"

"Hm..." anak kecil itu berpikir sejenak, lalu kembali menatap Rama. "Ya, itu kan pilihan yang Om ambil atas hidup Om. Aku nggak berhak ikut campur, kecuali Om emang minta pendapat aku."

Rama benar-benar dibuat merinding oleh gadis kecil di hadapannya. Rama tidak pernah suka anak kecil, bukan karena mereka merepotkan tapi karena mereka mengingatkan Rama pada dirinya di masa lampau. Dirinya yang naif dan lugu, yang menjadi penyebab kematian Mama.

Retrouvailles : (Bukan) Rama dan ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang