Berpisah

73 12 19
                                    

Kapal layar berukuran sedang itu meluncur cepat diatas permukaan air. Membelah ombak angin pagi yang bergulung lambat. Menciptakan gemericik air laut yang menebar aroma asin di udara. Tak jauh dari kapal itu, kapal lain yang berukuran lebih besar mengejar. Dengan kecepatan yang tidak kalah tinggi, layar layar hitam lebarnya mengembung terhempas angin. Dengan jumlah layar sebegitu banyak tak mustahil kapal suram itu mengikis jarak dengan amat singkat.

Sementara itu, diatas geladak kapal yang di depan para awak panik bukan main. Meriam meriam penuh amunisi, senapan  dibagikan, temali layar ditarik kuat, dan peti peti perbekalan disusun menjadi benteng pertahanan.

Ada yang berbeda dari kapal itu,

Semua awaknya perempuan.

Yang mana merupakan hal paling tidak mungkin terjadi dalam sejarah. Tenaga kaum wanita yang diremehkan, dibantah  habis oleh awak kapal itu. Tidak ada satupun pria dalam geladak tersebut.

"Isi penuh semua persenjataan! Kalian lihat sendiri kita tengah dikejar perompak, jangan ada yang diam saja! Ayo angkat senapan kalian!" Seorang wanita—tidak— umurnya masih terlalu muda untuk di sebut wanita. Seorang gadis, bertopi felt biru khas kapten kapal, memerintah. Menuding anak buahnya yang nampak linglung, bingung apa yang harus dilakukan. Berteriak hingga suaranya serak.

"Sudah kubilang kan? Kita seharusnya tidak lewat jalur ini!" Seorang gadis berjalan tergesa mengikuti si kapten yang berwajah tegang. Rambut ikal cokelatnya bergoyang seiring hentakan langkahnya. Mengomel.

"Ini daerah yang sering dilewati perompak itu! Ini laut mereka, wilayah mereka. Kita jelas jelas masuk sarang ular." Gadis itu setia mengomel. Mengacuhkan si kapten yang berasa kepala mau pecah di situasi genting begini, ditambah suara nyaring partner terdekatnya yang berteriak tepat disamping telinganya.

"Berita tentang tingkah kejam mereka sudah terdengar hingga benua seberang, dibicarakan tanpa henti. Mereka tidak terhentikan, Brie. Lebih baik kita kabur daripada melawan balik.

Rapscallion,
namanya.

Itu nama skuadron mereka, dan kau lihat bendera merah itu? Yang terkibar di geladak depan? Itu tanda ya mereka telah menentukan target. Dan targetnya kita!"

"Aloise, kalau kau tidak membantu lebih baik menyingkir, jangan ganggu aku!" Akhirnya si kapten mengibas tangan tanda mengusir. Alisnya menukik jengkel.

Aloise, yang sedari tadi bicara, mencebik kesal. "Oh, sekarang kau mengusirku, Britanny?" Ia berkacak pinggang pada Si kapten.

"Ya! Sekarang enyahlah! Kau hanya akuntan cerewet yang pintar berhitung, kau tidak bisa menilai suasana dengan baik, merepotkan" Britanny mendorong kasar bahu Aloise. Kemudian berbalik dengan langkah tegas, kembali meneriaki anak buah lainnya. Sama sekali tidak menyadari, bahwa Aloise—partner paling pertamanya dalam pelayaran ini, orang yang selalu berdiri disampingnya hingga Britanny menjabat jadi kapten—menatap kepergian punggung Britanny dengan tatapan terluka. Pertama kalinya ia dikatai merepotkan. Yang mana ia selalu bekerja keras menutupi kekurangan sang kapten.

Di sisi lain, kapal Rapscallion, mengejar dengan kecepatan konstan. Kapal layar beraura gelap itu keterbalikan dari kapal Brie dan awak awaknya. Geladak mereka memang dipenuhi oleh kelasi bertampang dingin dengan berbagai macam senjata di genggaman. Tapi mereka tidak heboh, tidak panik, tidak kelabakan. Semuanya tampak tenang. Duduk diatas peti persediaan. Bercakap santai, membiarkan angin bertiup yang membawa kapal mereka kepada targetnya.

Di dek paling depan, seorang pria berdiri dengan mata melihat melalui lensa tebal teropong binokular. Menyeringai tipis melihat keadaan kapal incarannya.

Abqarium-A Never Ending Journey-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang