Ayara tergesa-gesa menuruni anak tangga, sampainya di pijakan tangga terakhir ia mulai mempercepat langkah, setengah berlari menuju seorang lelaki di ambang pintu
"Ayah" sambil di peluknya erat tubuh jangkung itu
"Kayak yang ditinggal lama aja" ledek mama nya dari belakang.
Sang ayah hanya tersenyum sambil mengelus puncak kepala si sulung, sedangkan Reza diam so cool tidak terlalu banyak bicara.
Akhirnya satu persatu dari mereka mulai masuk ke rumah, Ayara paling belakang membantu ayahnya membawakan tas.
Tanpa mereka sadari, seseorang sedari tadi memperhatikan mereka dari jauh.
***
Laki-laki itu menatap langit-langit kamarnya. Terlentang di atas kasur dengan seragam yang masih ia kenakan, matanya tidak terpejam hanya menatap lurus di depannya.
Bergerak mengambil sesuatu, ia memiringkan badannya ke samping kiri meraih benda berbingkai yang tegak di atas meja belajar. Ditatapnya seorang wanita yang masih muda tengah tersenyum memegangi tangan mungil seorang anak laki-laki yang seperti akan menangis.
Itu foto ibu dan dirinya lima belas tahun yang lalu, ia tersenyum melihat tangkapan kamera itu, namun seketika ada rasa sakit menjalar di ulu hatinya.
Umurku baru 17 tahun jalan, tapi rasanya aku sudah terlalu lelah dengan semua ini.
"Bi..."
"Bian"Suara lembut di belakang pintu menyadarkan lamunan nya, ia lekas bangun dan menyimpan foto tadi di tempat semula.
"Iya ma, sebentar " jawabnya sambil mulai berjalan ke arah pintu yang terkunci dan membukanya.
"Tumben udah pulang" lanjutnya sambil tersenyum setengah mengejek.
Karena biasanya ibunya slalu pulang agak sore.
"Iya, tadi kerjaannya lumayan sedikit, jadi bisa pulang lebih awal" jelas ibunya
"Ya ampun Bian... " ibunya menatap tajam
"Kamu dari tadi belum ganti baju ngapain aja! "
Yang sedang di marahi malah menyunggingkan senyum
Bian yakin, setelah ini telinganya akan jadi sasaran kemarahan sang ibu. Tapi ibunya tidak semenyeramkan itu, ibu Bian adalah salah satu yang terbaik.
"Iya iya, Bian sekarang mandi terus ganti baju" tegasnya sambil mengambil handuk yang tergantung di pintu dan berlari menuju kamar mandi. Niat utamanya tentu saja untuk menghindari telinganya kena jewer, Sedangkan si ibu hanya tertawa.
Di rumah ini, Bian hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya meninggalkan mereka saat Bian baru saja lahir ke bumi, ia tidak mengenal siapa itu ayah jika bukan karena sebuah foto usang yang tersimpan di lemari pakaiannya dulu. kadang ia tidak peduli, terserah saja orang yang biasanya disebut 'ayah' itu ada atau tidak ada dalam hidupnya. Tapi juga kadang ia sangat merindukan sosok itu, ada bagian yang kosong dari hidupnya, selalu ada harapan kadang juga harapan itu mati. Yang dia inginkan setidaknya hanya bertemu dan mengatakan pada ayahnya, bahwa dia ada di dunia ini. Dan bertanya apa salahnya ?, namun pertanyaan itu hanya menjadi sebuah pertanyaan, karena sampai dewasa ini dia tidak pernah mengetahui jawabannya. Yang ia miliki kini hanya seorang ibu yang harus dia jaga, dan jangan sampai membuatnya kecewa.
***
Tepat di depan cermin berukuran sedang arah pojok kanan kamarnya, Bian seorang berperawakan tinggi dan berkulit putih sedang menyisir rambutnya yang masih basah setelah mandi. Dikenakan nya atasan kaos abu polos tangan pendek di padukan celana berwarna hitam selutut.
Lalu ia meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju dapur, biasanya dia yang akan memasak untuk makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMPORARY
Teen FictionJangan katakan apapun, karna kebanyakn orang tidak akan mengerti meskipun diberi banyak penjelasan. Itulah kenapa.... Aku memilih diam dan tidak peduli