N-D :: [2] Tutor? What About NO
Dari ketiga orang yang duduk diam dan memiliki sikap itu, hanya terdengar suara dentingan sendok beradu pada piring porselain mahal, kesayangan ibunya. Tidak ada yang berbicara, bahkan batuk sekalipun. Memang selalu seperti ini sejak insiden itu dan Alvaro berusaha memahaminya.
Tapi, akhirnya, ayahnya memecah keheningan. "Gimana sekolah?" tanyanya.
Alvaro mengambil segelas air minum, mereguknya, lalu menjawab. Jawaban yang konstan, berulang.
"Baik-baik saja."
Setelah ini, ibunya pasti menimpali. "Jadilah anak baik."
Dan Alvaro akan menjawab. "Tentu."
Sebenarnya, Alvaro tidak akan tahan dengan segala sikap formal ini andai saja ia tidak mengingat orangtuanyalah yang membiayai semua biaya rumah sakit milik Athala. Sikap formal inilah bayaran yang pantas agar Athala tetap ditunjang oleh alat-alat itu, supaya dia tetap hidup.
Meski rasanya Alvaro ingin menggaruk lidah saking gatalnya ia ingin berbicara non-formal. Seperti; "Ah, nanya itu mulu. Bosen. Yang lain, dong."
"Varo sudah selesai makan," ucap Alvaro seraya menyilangkan sendok dan garpunya di atas piring, mengangguk pada kedua orangtuanya dengan sorot mata patuh. Persis seperti anak anjing kesayangan majikan. "Varo pamit ke kamar, belajar."
Alvaro memang ke kamar, tapi ia berbohong. Dia tidak belajar, sibuk bermain PS.
Semuanya bermula saat kedua orangtua Alvaro masih akur. Mereka mengajak bocah berumur enam tahun itu ke panti asuhan yang dibangun oleh kedua orangtuanya. Awalnya, Alvaro menolak sekuat tenaga. Dia tidak mau semua mainan kesayangannya dibagi oleh orang lain.
"Ini 'kan mainan kesayangan aku semua!" bantah Alvaro keras, persis seperti sekarang.
Supir yang mengendarai mobil menuju panti asuhan itu mengerut mendengar suara keras tuannya. Majikan kecilnya itu memang tidak bisa dibantah atau dilawan.
Ibu Alvaro, Karyna, mengelus punggung Alvaro. Hanya ibunya yang bisa membujuk. Bahkan, ayah Alvaro tidak bisa.
Akhirnya, Alvaro setuju untuk membagi mainan-mainan yang menurutnya membosankan saja. Alvaro yakin panti asuhan itu sama membosankan seperti mainan miliknya.
Tapi, Alvaro kecil salah. Ia bertemu sosok yang dulu mewarnai hidupnya sekaligus menjadi mimpi buruk terbesarnya sekarang; Athala.
▲▲▲▲
"Jadi, ini nilaimu," ucapan bibinya, Linda, membuat Anggi mengerut di kursi yang berhadapan dengan bibinya sekarang ini.
Secara sangat kebetulan, bibinya menjadi guru musik di sekolah Anggi. Tidak banyak yang tau tentang ini karena baik Linda maupun Anggi malas menjadi bahan omongan. Biasanya jika murid memilki hubungan kekerabatan dengan guru di kelasnya, pasti disangka ada KKN.
Tapi, di sini Anggi, dipanggil oleh Linda karena nilainya jelek. Dia dapat C. Menyebalkan. Baru kali ini Anggi mendapat nilai sejelek itu. Sudah Anggi bilang pada Linda bahwa ia benar-benar tidak bisa memainkan alat musik, meski hanya sekedar menaik atau menurunkan tangga nada. Tapi, bibinya ini serius ingin menerapkan sistem No KKN. Bete.
"Tapi, Bi," bantah Anggi kesal. Cukup keras sehingga guru lain mendengar suaranya dan menengok. Anggi mengoreksi kata-katanya saat melihat pelototan Linda. "Tapi, Bu. Saya bener-bener gak bisa main musik. Ibu kasih test saya apa aja. Sejarah musik. Susunan tangga nada mol atau kres. Tokoh-tokoh musik. Apa aja! Saya bisa jawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRS (6) - A
Roman pour AdolescentsTELAH DITERBITKAN The Rules Series (6) : Alvaro Radyana Putra Ini cerita tentang Alvaro Radyana. Si Kasanova terpopuler di SMA National High. Juga Ketua OSIS yang dikagumi oleh banyak orang. Alvaro yang 'Segalanya'. Ini juga cerita tentang...