Part #1

2 0 0
                                    

Rakyat adalah kita
Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
Jutaan tangan mengayun bersama
Membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
Mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
Menaikkan layar menebar jala
Meraba kelam di tambang dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
Otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
Yang selalu berkata dua adalah dua
Yang bergerak di simpangsiur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
Beragam suara di langit tanah tercinta
Suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
Suara kecapi di pegunungan jelita
Suara bonang mengambang di pendapa
Suara kecak di muka pura
Suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
......
(Hartojo Andangdjaja)

Begitulah kira-kira penggalan sajak dari puisi 'rakyat' Kang Hartojo. Beliau lahir pada tahun 1930 di kota Solo. Mencoba mengurai apa makna rakyat dengan karyanya. Namun karena puisi yang beliau gunakan sebagai alternatif, bukan definisi yang didapat kecuali hanya imaji.

Sekarang, kita yang hidup setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, kita yang lahir di masa orde baru dan revolusi, kita yang katanya adalah generasi milenial, dengan seperangkat kecanggihan teknologi yang sedemikian rupa, pernahkah bertanya apa itu rakyat?

Pernahkah para pemimpin kita hari ini, merenungkan makna rakyat, di balik definisi menurut kamus besar bahasa Indonesia yang konon telah disepakati ke-baku-annya itu?
Pernahkah kita, yang katanya adalah generasi penerus masa depan bangsa bertanya; siapa rakyat itu? seperti apa rakyat itu? Dan bagaimana sebenarnya yang disebut rakyat itu?

"Ray, berkas-berkasnya sudah disiapkan?"

Aku tersadar dari lamunan, dan tanpa sadar aku tak paham dengan lamunanku sendiri.

"Ray" katanya lagi, setelah beberapa saat tak ada jawaban.

"Eh, iya. Sudah, Bu"

Tubuhku tidak beranjak dari kursi yang sejak tadi kududuki, ibu keluar lewat pintu belakang. Aku tidak tahu persis ke mana ia akan bergi. Yang jelas di belakang itu ada tempat cucian, dan sekitar 50 meter dari tempat cucian ada kandang ayam kampung seluas 7 × 11 m. Ibu kalau tidak aku, biasa memberikan makan ayam pada saat sebelum berangkat sekolah.

"Lalu, bagaimana dengan pemimpin?" batinku lagi.

Dengan kesadaran pun aku kembali pada titik 'sublimasi' ketidakpuasan pada diri sendiri. Perihal pola pikir yang tidak sepenuhnya kumiliki. Kecuali sebatas alat yang dapat kufungsikan sesuai kadar kemampuanku.

"Siapa pemimpin itu? Seperti apa pemimpin itu?  Bagaimana yang disebut pemimpin itu?"

Aku semakin larut dan Ibu masih di luar, terdengar obrolan dengan orang lain. Mungkin tetangga yang lewat jalan setapak di samping rumah.

"Heh!" Sergah kakak dari belakang, membuatku kaget, sontak berdiri dari tempat duduk. Jantung seperti mau lepas.

Dengan intonasi tinggi, "Apaan sih Kak!!!" kataku

Dia tertawa beberapa saat lamanya, lalu "HPmu berdering tuh, sana angkat. Siapa tahu penting"

Tanpa kata, aku melangkah menuju kamar tengah tempat HP di charger dekat televisi.
Siapa yang nelpon pagi-pagi? Ada perlu apa? Perasaan belum ada teman-teman yang nelpon sepagi ini. Kalaupun perlu, hanya lewat sms atau WA.

Apa Anton? atau Fifi? atau Fafa? Sekelebat pikiranku menebak-nebak siapa kira-kira yang nelpon itu.

Bersambung...
.
.
.

What's on Your MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang