delapan.

1.2K 139 7
                                    

Seberapa besar pun keinginan Sasuke untuk menutupi bahwa dia tersinggung atas tawa kencang yang terlepas dari bibir Sakura, tetapi ternyata otot-otot di mukanya tak bisa menahan kerutan-kerutan yang membentuk sebuah ekspresi merengut. Ini bukan pertama kali Sakura menertawakan dirinya, dan dia tidak pernah menganggap itu masalah-meski ada kalanya dia sedikit terusik. Namun, tentu saja hal tersebut tak berlaku ketika dia melamar Sakura, dan yang dilamar justru malah menertawakannya. Sementara Sasuke sangat, sangat yakin bahwa tak ada satu pun yang lucu di sini.

Sorot mata yang tadinya lurus dengan kedua iris hijau milik Sakura kini titik jatuhnya berpindah pada langit-langit tenda. Sasuke beranjak dari baringannya dengan otot di sekujur tubuh yang begitu kaku. Sakura sama sekali tak diliriknya. Gema tawa gadis itu masih terngiang di telinganya. Sasuke menyipitkan mata dan mengusap wajahnya kasar.

"Yang tadi ... aku hanya ... tch, kurasa yang kulakukan sangat salah hingga begitu lucu di matamu."

Kedua bibir Sakura langsung terkatup rapat, bersamaan dengan detak jantungnya yang terhenti. Dia mengernyitkan dahi kebingungan. Tak butuh lebih dari dua detik untuk menyadari bahwa dirinyalah yang salah di sini. Tanpa melihat ekspresi wajah Sasuke, Sakura sadar bahwa lelaki itu tersinggung. Dia tak akan menilai Sasuke terlalu sensitif, karena dirinya pun sadar bahwa tawa refleks yang terbentuk dari partikel-partikel kebahagiaan di dalam perutnya tadi memang terlepas bukan di saatnya. Meski refleks, tetapi Sasuke jelas tak tahu akan hal itu.

Kepala Sasuke benar-benar terasa penat saat ini. Rasa-rasanya udara segar pun tak cukup untuk membuatnya tenang, tetapi dia ingin keluar dari tenda sekarang juga. Dia berharap bahwa dinginnya udara di luar cukup untuk mendinginkan kepalanya, meski Sasuke benar-benar tidak yakin akan hal ini. Dia mengeluarkan kakinya dari kantung tidur dan menggumam, "Maaf, aku-"

Sakura menelan kata-kata Sasuke dengan sebuah ciuman lembut yang diusahakan membuat tenang. Matanya terpejam ketika menyadari bahwa pergerakannya barusan betul-betul cepat saking dia merasa panik. Dari deru napas pendek yang terasa membelai pipinya, dia yakin emosi Sasuke masih kacau saat ini. Ragu-ragu Sakura menarik diri dan segera berbicara sebelum Sasuke berargumen lagi.

"Jangan minta maaf karena melamarku." Sakura menatap Sasuke tepat di mata, dan menyibak rambut hitamnya ke belakang agar penglihatannya lebih jelas. Dalam hati dia bersyukur Sasuke belum mematikan lampion, sehingga dia masih bisa melihat raut wajah Sasuke dari pantulan cahaya minim berwarna kuning dan Sasuke pun bisa melihat mimik mukanya dengan jelas. Bibir Sakura melengkungkan sebuah senyum, berbeda 180 derajat dengan mimik muka yang dipasang Sasuke. Sorot mata lelaki itu masih tajam. Dan garis-garis terluka di wajahnya membuat Sakura semakin merasa bersalah hingga seolah-olah isi perutnya memaksa keluar.

"Seharusnya aku yang minta maaf." Ujung jemari Sakura mengusap pipi Sasuke perlahan. Otot wajah yang tadinya menegang mulai melemas seketika di bawah sentuhannya. "Aku tidak seharusnya tertawa, tapi astaga, Sasuke-kun, kau melamarku!" Tawa terselip lagi dari celah bibirnya. Sebelum Sasuke kembali berasumsi macam-macam, dia cepat-cepat menambahkan, "Aku hanya ... aku tidak tahu apakah ada kata lain yang bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini selain bahagia. Jika ada kata yang mewakilkan perasaan "lebih dari bahagia", maka aku merasakan hal tersebut saat ini juga."

Tubuh Sasuke condong ke belakang ketika Sakura menerjang dan memeluknya erat. Hangat dari karbon dioksida yang melesat dari mulut Sakura ketika gadis itu tertawa masih terus menguapi lehernya. Samar-samar Sasuke mendengar isakan-isakan, kemudian disusul oleh kulitnya yang merasakan tetesan air tak wajar. Sasuke tak yakin Sakura sedang menangis atau tertawa saat ini, atau malah kedua-duanya.

Perasaan Sasuke sudah tidak sesensitif tadi. Akan tetapi, sebelum Sakura memberi penjelasan atas tawanya, dia sempat memikirkan apakah memang ada kesalahan atas apa yang dia lakukan atau tidak. Ini bukan lamaran yang baik, dia tahu itu. Lamaran tanpa adanya cincin maupun tempat yang bagus. Lamaran yang dilakukan ketika sosok yang dilamarnya tengah diserang kantuk dan baru terbangun di tengah-tengah tenda yang lusuh lantaran sudah sering dihujani. Lamaran yang seharusnya bisa jauh, jauh lebih baik bagi gadis seperti Sakura, yang sudah mencintainya dengan segala rasa sakit dan penantian panjangnya. Sasuke tahu, kesabaran Sakura seharusnya bisa berujung sesuatu yang spesial dan terencana, bukan sesuatu yang spontan seperti ini.

dua pasang sepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang