Saat itu usianya tepat 12 bulan. Makhluk kecil itu sedang lincah lincahnya belajar berjalan, bahkan tak jarang ia lebih banyak menyebut kata 'mama'. Kehadirannya membuat rumah menjadi lebih hidup. Menjadikannya sebagai penopang di tengah gelombang lara. Rumah itu, kehidupan itu menjadi bukti selama belasan tahun ia hidup.
"ayo aa..aa pesawat mau masuk...," mama menyuapinya dengan semangkuk kecil bubur, bergaya seperti pilot yang ingin menerbangkan pesawatnya masuk ke dalam mulut.
"aammm....," bayi itu tersenyum senang sekali.
"raga pasti pas besar mau jadi pilot ya?"
"emm iya yaa nanti ajak mama sama bapak naik pesawat ya.""nanti raga juga jadi dokter ya biar bisa ngobatim mama sama bapak kalo sakit." Bapak ikut melanjutkan percakapan antara mereka bertiga.
Padahal si bayi pun hanya tertawa dan menggangguk, kadang menggeleng, kadang ikut berbicara seperti orang dewasa.
Jika raga susah untuk tidur biasanya mama menaruhnya di ayunan kain yang sengaja di pasang bapak di celah pintu. Mama mengayunkan dengan pelan sambil menyanyi lagu dangdut rhoma irama yang saat itu sedang naik daun. Kalau raga sudah tertidur pulas, mama juga yang memindahkannya di atas Kasur. Sering mama terbangun saat tengah malam untuk menenangkan raga yang menagis, entah karena ia lapar atau pipis di celana. Bangun bangun mata mama jadi hitam seperti mata panda. Tapi mama tak pernah sekalipun menyesalinya. Mama bersyukur amat sangat bersyukut. Atas nikmat-Nya yang tidak pernah terputus.
Mama tertatih mengajari raga berjalan di sebuah taman. Kata orang dulu, jika ingin anaknya bisa cepat berjalan maka di bawa lah anak anak mereka ke tempat terbuka yang masih banyak rerumputan. Tanpa alas kaki, kaki raga yang mungil mencoba bangun setelah berpuluh kali dia terjatuh.
Begitu terus sampai raga sigap berjalan sendiri.
Biasanya pulang dari taman mama sering membeli jagung bakar untuk dimakan bersama bapak di rumah. Itu sudah menjadi kebiasaan mama. Raga hafal senyum mama saat membawa jagung itu. Raga masih ingat ketika bapak menangkap bola mata mama, melihatnya, jatuh dalam kehangatan yang tidak bisa dibeli oleh siapa pun.
***
"raga, kantin gak?"
"gak jack males gua"
"yaelah ga gua gak pernah liat lu ke kantin, lu gak laper apa ayo udah."
Raga berpikir sebentar. Dia sudah terhitung lumayan lama di sekolah ini sekitar sebulan mungkin, tapi benar kata jak dia tak pernah sekalipun keluar dari kelas. Jika tidak ke musholla untuk sholat dia ke perpustakaan tenggelam dalam dunia nya sendiri lupa bahwa ia juga punya dunia yang sebenarnya ia jalani.
Raga mengangguk setuju. Mereka berdua menjadi teman saat perkenalan pertama itu. Sebenarnya, raga tak bisa dikatakan pendiam karena ia juga punya selera humor yang sama dengan jack. Tapi, satu yang tak banyak orang tau bahwa raga itu cucu tunggal dari pemilik yayasan tempat ia bersekolah. Hanya jack yang tau tentang itu.
"lu kenapa si ga pernah mau ikut ke kantin?" jack bertanya dengan alis terangkat sebelah.
"lu masih takut? Apa lu canggung? Tapi gak mungkin lu minder kan?" langkah kaki jack terhenti begitu pun raga. Jack berbalik pada raga sambil berkacak pinggang. Menatap raga dari kaki sampai kepala.
"ga lu cucu tunggal pemilik yayasan, lu punya tampang yang bagus. Apa selama ini lu ga pernah tau tentang itu. Kalau satu sekolah ini tau tentang lu, cewe pasti pada ngantri buat dapetin lu." Jack berbicara seperti mobil yang kehilangan rem nya.
"ni ya jack, hidup itu ga melulu tentang cinta."
"halah paling juga kalau dikasi yang gemoi lu mau."
YOU ARE READING
Dark Side
Teen Fiction"Everyone has a Dark Side" Saya bersyukur pernah kenal sama kamu. Seandainya semesta masih kasih saya izin dekat dengan dengan mu, saya akan pergunakan itu dengan sebaik baiknya. Karena masih ada banyak hal yang belum saya tau tentang dirimu. Tata...