1

435 41 34
                                    

Vote dan komen🌈

Di dinding itu tergantung foto pernikahan mereka. Wendy yang tampak cantik memakai gaun putih menggandeng tangan Jae yang terlihat tampan dengan jasnya. Aura kebahagiaan juga terpancar dari senyum lebar mereka di dalam foto.

Tapi kini semua berbanding terbalik.

Nyatanya, pernikahan tidak seindah yang mereka bayangkan.

Wendy berusaha dengan tangannya menggapai rak bagian atas untuk mengambil obat. Dia tak sanggup berdiri tegak, tapi pada akhirnya dia berhasil mendapatkan kotak obat itu. Segera saja Wendy mengambil obat yang dia cari dan berniat meminumnya. Belum sempat obat itu masuk kedalam mulutnya, tiba-tiba dia teringat kembali perkataan Ibu Jae di telepon tadi.

Pernikahan Wendy dan Jae tidak direstui oleh Ibunya Jae. Hal itu cukup membuat Wendy tertekan hingga akhirnya ia stres hingga diam-diam berkonsultasi dengan psikiater dan meminum obat penenang.

Wendy pun tak jadi memakan obat itu dan pasrah menerima rasa sakit yang menjalar di tubuhnya dengan terduduk lemas di lantai. Sayur lodeh yang dibuatnya pun tak mampu dia selamatkan.

Sesampainya di rumah, Jae meminta handuk pada Wendy yang dia lihat sedang berbaring di sofa. Wendy sama sekali tak mempedulikan apa yang diminta oleh Jae.

"Hei, bukankah seharusnya tadi kau melihat ke arah pintu mengecek siapa orang yang baru saja memasuki rumah?" Jae berjalan mendekati Wendy yang sedang terbaring lemas di sofa, "Bagaimana kalau itu bukan aku? Bagaimana kalau itu orang jahat? Lebih berhati-hatilah lain kali."

Wendy akhirnya menoleh. "Astaga kau basah kuyup. Tadi aku sudah menyuruhmu untuk memeriksa ramalan cuaca dan menaruh payung di dalam mobil kan? Kenapa kau tidak mendengarkanku?"

Jae mendengus sebal. Wendy benar. Harusnya tadi aku mendengar omongan Wendy saja.

"Kenapa ponselmu mati tadi?"

"Hah?"

"Aku menelponmu dan ponselmu mati. Kau kemana saja seharian?"

Jae yang sedang mengeringkan kepalanya menjawab kesal kalau dia punya alasan untuk itu dan Wendy tidak harus selalu tahu.

Jae yang lapar kemudian melihat masakan yang ada di panci.

"Masakan apa ini?" Tanya Jae.

"Aku pikir kau punya mata untuk melihat. Itu sayur. Sayur lodeh." Jawab Wendy.

Jae kaget dengan bentuk makanan yang kata Wendy 'sayur lodeh' itu yang menurutnya malah seperti kotoran.

Jae terkekeh geli, "Kemana perginya chef Wendy, hm?"

Jae menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Tiba-tiba Jae membelalakkan matanya saat menatap akuariumnya. Ternyata ikan di akuarium itu sudah mati dan tentu membuat emosi Jae tersulut. Dia mendekati Wendy dan memaksa Wendy untuk bangun dari tidurnya.

"Kenapa ikan-ikanku mati?!" Jae berteriak marah pada Wendy yang membiarkan ikan-ikannya mati. Atau mungkin saja memang Wendy sengaja melakukannya? Pikir Jae.

“Aku bilang padamu, setidaknya beri mereka makan, bahkan jika kau tidak mau melakukan apapun.”

“Memberi makan? Aku bahkan hampir mati tadi, jadi aku tidak bisa memberi mereka makan.”

Jae menatap Wendy tidak percaya.

"Apa saja kegiatanmu di rumah sampai-sampai kau tidak bisa memberi mereka makan? Hah?! Aku bertanya Wendy, jawab aku!"

Wendy menahan diri untuk tak menangis, menjawab semua pertanyaan Jae didalam hati.

Wendy kemudian menatap Jae tajam, dan melanjutkan kalimatnya. "Sepenting itukah ikan-ikanmu?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PHOSPHENESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang