Bel pulang baru saja berbunyi. Segera kulipat tablet yang biasa kupakai saat kegiatan belajar di sekolah, lalu kumasukkan ke dalam saku blazer. Para murid bergegas keluar kelas dengan gerak dan barisan yang teratur bak tentara yang rutin melakukan baris-berbaris. Aku berada di baris ke tujuh, bersama Jung Mo dan Woo Bin di sampingku.
"Ey, jelas sekali dia menyukaimu," ledek Woo Bin setelah Jung Mo melanjutkan ceritanya mengenai seorang gadis di kelas 11-A.
Pipi Jung Mo hampir menyerupai warna tomat. Koo muda itu merapikan dasi yang sudah sempurna, membuatku dan Woo Bin tertawa lepas sampai-sampai pria tirus di antara kami itu protes, "Sudah, ya. Tidak usah dibahas lagi."
Alih-alih berhenti, ucapannya justru membuatku ingin melanjutkan. "Sekarang kau tidak perlu iri padaku lagi, Jung Mo-ya," ucapku, namun malah mendapat tatapan tidak setuju dari keduanya.
Woo Bin menarik lengan Jung Mo agar mendekat ke arahnya. Alhasil, barisan jadi sedikit berantakan karena dua pria di sampingku ini. "Tuan Muda Ma, kau mau sombong, ya, sebenarnya? Satu banding seratus itu sangat jauh, loh. Jung Mo hanya disukai satu wanita, sedangkan kau ... disukai seratus lainnya!"
Aku tertawa mendengar bualan Woo Bin. Omong kosong apa itu? Nyatanya, Jung Mo tidak kalah popular dariku di sekolah, bahkan di negara ini.
Semuanya terjadi begitu saja empat tahun lalu. Ayah kami bekerja sama menciptakan obat pengendali amarah dan kesedihan yang kini begitu dielu-elukan presiden serta masyarakat. Wajar saja, sih. Pasalnya, tingkat kejahatan dan juga depresi turun sebanyak sembilan puluh persen sejak pertama kali digunakan sembilan bulan lalu. Obat itu bekerja selama setahun dan sebagai kesimpulan, kami akan meminumnya kembali tiga bulan yang akan datang.
***
"Tampan, sudah sampai."
Suara Scarlet, mobilku, terdengar menyapa rungu. Aku yang tertidur (lagi) selama perjalanan pulang dari sekolah pun spontan membuka mata. Garasi rumah adalah pemandangan pertama yang menyapa netraku di balik kaca mobil. Usai menggeliat seraya menghirup udara sebanyak mungkin, kubuka pintu mobil dan mulai kulangkahkan kaki ke dalam rumah.
Pintu belakang yang menghubungkan garasi dengan dapur otomatis terbuka setelah kutatap layar sensor di dinding. Kecuali hari ini, biasanya langsung kujumpai ibu sedang memasak sesuatu yang lezat di dapur. Aroma yang biasanya tercium pun tidak membaui hidung.
"Bu?"
Tidak ada yang menanggapi sapaanku. Namun semakin ke dalam, terdengar suara bernada tinggi. Bentakan seorang pria yang menyebabkan gema dari lantai atas itu membuatku was-was. Setelah sembilan bulan sejak Hanguk dinobatkan sebagai negeri yang damai, akhirnya aku kembali mendengar kemarahan.
Eits! Bukan sesuatu yang kuharapkan, tentu. Apalagi ini terjadi di rumahku. Lagipula, bukankah kemarahan telah dihapus dari negara ini? Mengapa masih ada yang berteriak?
Langkah kakiku melebar, menyatukan dua anak tangga menjadi satu sehingga tidak perlu berlarut-larut untuk sampai di atas. Sertifikat-sertifikat berbingkai milik ayah yang menempel di dinding tidak bisa menjelaskan apapun, sementara suara yang terdengar familiar itu semakin terdengar jelas dari kamar ayah dan ibu.
Seharusnya aku bisa berlari, mendobrak pintu, dan berteriak untuk menginterupsi sesegera mungkin karena dulu, ayah sering melakukan kekerasan pada ibu. Namun karena obat yang ayah ciptakan, semua itu seperti tertahan. Amarah yang samar ini sungguh menggangguku.
Pada akhirnya, aku membuka pintu dengan santai dan menatap ayah yang tengah menyentuh dahi ibu dengan telunjuknya. Guratan di pelipis dokter itu tampak seperti ombak begitu pandang mata kami bertemu, hingga akhirnya menghilang bersamaan dengan tangannya yang diturunkan dari dahi ibu.
Ayah menyapaku dengan senyuman seolah aku tidak melihat dan merasakan apa-apa atas perbuatannya. "Oh, anak semata wayang ayah. Kau sudah pulang?"
Lalu, aku menjawabnya dengan senyum yang tercipta begitu saja. "Ya." Sungguh aneh dan ... bukan mauku untuk menjawab sesantai itu.
Ayah berbalik dan membisikkan sesuatu pada ibu yang tidak berekspresi, kemudian berlalu setelah mengacak-acak rambutku.
"Ada apa? Untuk apa ayah pulang jam segini?" tanyaku pada ibu setelah memastikan ayah sudah pergi. "Ibu dipukuli lagi?"
Wanita di hadapanku hanya tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Sana, istirahat di kamarmu saja. Ayah pulang untuk mencari dokumen yang tertinggal. Tidak ada yang dipukul," jawab ibu dengan santai meski kebohongan tetap terlihat tanpa perlu diakui.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi, rasanya aneh sekali. Mengapa ketika kami semua tidak bisa marah, ayah malah bisa begitu bebas melepaskan perasaannya?
"Bu, ayah ... tidak pernah meminum obatnya, ya? Dia bisa marah padamu," tanyaku.
Mata ibu membola. "Kata siapa? Kau mengigau, ya? Semua orang kecuali para pemerintah terpercaya dan pasukan pengamanan negara wajib meminum itu. Ayahmu tidak marah padaku. Dan lagi ... bagaimana mungkin ia berkhianat, hm?" Tangannya bergerak merapikan rambutku yang sedikit acak-acakan akibat ulah ayah tadi. "Sebaiknya kau istirahat, Sayang. Pelajaran di sekolah pasti melelahkan."
Aku menatap ke dalam bola mata hazel ibu, berusaha menangkap amarah dan kesedihan di wajah blasterannya, namun gagal.
"Bu, bukankah ini aneh?" tanyaku lagi, membuat ibu menaikkan kedua alisnya sebagai bentuk atensi. "Meski tidak bisa mengekspresikannya, tapi aku merasa sangat kesal pada ayah."
Ibu cukup terkejut, namun sesegera mungkin mengubah raut muka. Kedua alisnya pun turun hingga menampilkan kelegaan. Dengan ketenangan yang terpancar, ibu tersenyum, lalu berbisik. "If so, don't tell the others about that. Janji? Berpura-pura lah tidak merasakan itu sampai saat yang tepat. Tidak ada yang bisa kau percayai saat ini, bahkan ayah sekalipun."
"Mengapa?"
"Karena seharusnya kau tidak merasakan itu sampai tiga bulan kemudian, Sayang. Kalau sampai ada orang lain yang tahu, ayah mungkin akan membawamu ke laboratoriumnya untuk diperbaiki."
Meski kata diperbaiki terdengar aneh, aku tidak menjawab apa-apa. Satu yang pasti sejak saat itu adalah: aku tahu jika ayah tidak sesempurna yang orang-orang pikirkan.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK THE RULES | Cravity
FanfictionHanguk terlihat hampir sempurna karena tingkat kejahatan dan depresi yang berada di posisi terendah di antara negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh hilangnya kemarahan dan kesedihan yang dirasakan rakyat Hanguk akibat sebuah obat yang wajib...