Tragis (SD)

5 1 0
                                    

  Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini aku sudah menginjak kelas 3 SD. Karena Dede adikku sekarang sudah harus memasuk Sekolah Dasar kelas 1, orang tuaku jadi harus meninggalkan Dede dirumah Mak Yaya juga seperti aku waktu itu.

  Tapi aku sekarang harus tinggal dirumah Wa Eti, biar aku belajar mandiri kata Mamah.

  Disini aku memang belajar mandiri, bahkan bisa dibilang terlalu mandiri untuk anak-anak seusia ku.

  Keluarga Wa Eti memang sangat baik, tak pernah hitungan kalo soal materi. Karena dia jago bisnins segala usaha dia garap, jadi dia banyak uangnya.

  Pekerjanya sampai puluhan, itupun sepertinya masih kurang. Karena anggota keluarga nya pun seringkali harus ikut serta bekerja. Tak jarang orang yang memesan misalnya kue kue kering, sampe 1000pcs lebih.

  Wa Eti juga sangat disiplin waktu, pekerja keras, inovatif pula, maka dari itu usahanya sangat maju. Tapi dia sudah kegilaan dengan dunia bisnis. Sampai aku merasa bahwa dia kejam.

  Hari ini aku pulang mengaji dari masjid kampung sebelah, yaitu kampung Enin jam 8 malam. Memang anak-anak dikampung ku, apalagi cucu-cucu nya Aki Alit selalu belajar mengaji setiap hari mulai bada Maghrib.

  "Assalamualaikum" salamku sembari membawa tas jinjing kecil yang berisi mukena dan Al-Qur'an.

  Pintu rumah memang selalu terbuka karena para pegawai harus kesana kemari memproduksi usaha nya tersebut.

"Waalikumsalam, tos uih teteh..." Sambut Wa Eti.
(waalikumsalam, udah pulang teteh...)

"Muhun wa" jawabku.
( Iya wa)

  Setelah dikamar menyimpan tas dan berganti baju, perutku mengeluarkan suara. Aku lapar dan diluar kamar ku para pegawai memang sedang makan. Tapi seperti biasanya, Wa Eti selalu memprioritaskan para pegawainya untuk makan duluan, karena memang kasihan sih mereka dipekerjakan dari subuh sampai Magrib tadi.

  Aku memilih mengerjakan PR ku saja dulu, tapi tiba-tiba Wa Eti datang ke kamar ku.

"Hayu geura emam teh" ajak Wa Eti.
(Ayo cepet makan teh)

"Muhun wa sakedap" jawabku
(Iya wa sebentar)

"Buru eta sanguna tos di pang ngalaskeun" ucapnya.
(Ayo itu nasinya sudah diambilkan)

"Ohh muhun atuh" jawabku.
(Ohh iya deh)

  Wa Eti kembali lagi ke meja makan. Di susul olehku. Saat aku datang, tidak kira-kira dia mengambilkan makan untukku seperti porsi untuk tukang bangunan.

  Lauk yang ada di piring makan ku hanya ada telur, tempe dan tahu. Tapi sebelum aku masuk kamar tadi aku melihat para pegawai nya makan dengan lauk ayam goreng.

  Memang setiap hari aku disini makan makanan yang begini-begini saja, nasi yang banyak, lauk yang itu itu saja, sedikit pula lauknya. Menurutku lebih enak jadi pegawai kalo soal makan sepertinya, mereka dikasih daging ayam.

"Teh, geulis, ngke tos emam kukumbah nya di tukang!" Ucap Wa Eti.
(Teh, cantik, nanti udah makan nyuci yah dibelakang)

"Eta emamna kedah seep, lebar lamun dipiceunan sangu teh, mubajir" tambahnya.
(Itu makan harus habis, lebar kalo dibuang nasi nya, mubajir)

  Ya beginilah keseharian ku belajar mandiri dirumah Wa Eti. Makan dengan porsi tukang bangunan, beresnya di suruh nyuci.

  Beres makan (makanan ku gak abis sebenernya), aku langsung nyuci piring, bukan bekas ku saja, tapi bekas semua orang rumah disini. Positif nya dari aku harus mencuci seperti ini, Wa Eti gak pernah tau kalo makanan ku gak dihabisin jadi aku gak kena marahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PejamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang