Ada yang baru di kampung kecilku. Sebuah desa di ujung katulistiwa. Saat aku menjejakan kaki selepas lima tahun tak kembali. Sebuah bangunan megah, ber ac dan terang sendiri di malam hari telah hadir memeriahkan sepinya malam. Kampung kecilku telah tersentuh gerai retail sebuah minimarket ternama di Indonesia. Saat pertama kali kembali pulang. Ibu bercerita dari awal sampai akhir bagaimana bangunan megah itu bisa ada di kampung kecilku.
Mini market dengan fasilitas yang cuma bisa di tonton di tv sebelumnya, kini bisa mereka rasakan. Dinginnya AC itu seperti itu to nduk. Begitu ujar ibu. Aku tersenyum dan menganguk. Saat ia memasak untuk makan malam menyambut kedatanganku ibu belum selesai dengan ceritanya. Belanja itu ngambil sendiri nduk, kita bisa milih, trus ada harga-harganya di setiap barang. Naro duitnya di komputer. Itu lo nduk, mesin ajaib, kalau ditekan duitnya bisa kelihatan. Begitu cerita ibu. Aku meladeni dengan cukup antusias, takut melihat ibu kecewa. Sreng, sreng, suara ayam yang tadi ibu tangkap dan di sembelih untuk menyambut kedatangannku menyelingi ceritanya.
Kalau cuma mini market di kota banyak. Bahkan tidak hanya mini market sampai mall yang besarnya melebihi rumah Wak Jaikun, orang terkaya di kampung kami banyak jumlahnya. Tapi aku tersenyum dan menangapi semua cerita ibu. Ibu sangat bangga dengan keberadaan mini market itu. Saat semua hidangan sudah tersedia, aku memanggil bapak yang sedang ngopi sambil nonton tv untuk makan bersama. Lalu aku keluar mencari-cari adikku. Ternyata dia menghilang. Tadi kulihat ia bersama dua temannya sedang asik ngobrol di teras depan.
" Handi mana pak? Bukannya tadi ada di depan." Tanyaku pada bapak setelah menemui beliau di meja makan.
" Bocah itu pasti ngeluyur ke mini market. Paling cuma beli rokok, di warung sebelah aja ada." Kata bapak,
" Ya nggak apa-apa to pak. Di sanakan rame, anak muda biasa. Ia to nduk." Ibu membela adiku.
" Ya udah. Kita makan dulu aja ya bu."
Kami makan, ibu masih cerita tentang mini market. Bahkan ibu meledek bapak yang masih malu-malu untuk ikut masuk ke ruangan ber AC itu. Kata bapak, ngapain masuk, orang nggak mau beli apa-apa. Aku bahkan belum bercerita tentang kehidupanku di sebrang sana. Semua ceritaku terasa tak terlalu penting dibanding mini market baru di kampung kami.
Saat mau memejamkan mata ibu kembali berdongeng tentang minimarket yang megah itu. Lampu-lampunya banyak nduk, walaupun mati lampu tetap terang dan menyala. Jadi semakin banyak pembelinya saja. Itu kata ibu. Aku mangut-mangut. Kutarik selimut. Malam ini ibu memang sengaja tidur denganku, ingin mendengar ceritaku. Tapi sepertinya aku yang harus mendengar cerita ibu. Warga kampung bangga sekali dengan kehadiran mini market itu.
Ibu mencoba mengingat- ingat acara pembukaan mini market. Seluruh warga kampung tumpah ruah memadati pelataran mini market. Mereka sudah berdandan rapi dan cantik-cantik seperti pada mau pergi ke pasar. Ada yang sudah mandi keramas, pake bedak, pake bibir (ibu menyebut lipstik dengan kata bibir), pake baju yang paling bagus. Ibu tersipu malu saat aku tanya bagaimana dengan ibu. Dia kemudian mengatakan, bahwa untuk menghormati pembukaan mini market itu ia memakai baju yang biasanya cuma ia pakai kalau mau kondangan. Ibu mengumpulkan uang dari hasil berjualan tembikar untuk bisa masuk pada hari pembukaan dan membeli barang-barang di sana.
Antrean untuk masuk terjadi. Tidak laki-laki atau perempuan semuanya ingin ikut menikmati kemegahan mini market itu. Musik dangdut di gelar, dengan tape besar. Tambah meriah saja seperti orang hajatan. Saat orang-orang keluar sambil membawa kantong belanjaan, mereka tersenyum puas dan bangga. Lihat, aku seperti orang kota belanja di mini market, ngambil sendiri dan ada acnya. Begitu kira-kira kepuasan dan kebanggaan mereka. Kemudian mereka pulang dengan membawa belanjaan dan hati yang senang.
" Pokoknya rame sekali nduk."
" Ia bu. Ibu waktu itu belanja apa aja."
" Banyak nduk. Soalnya banyak hadiahnya. Sabun mandi, sabun cuci, odol, gula, minyak sama rokok buat bapakmu."
Dengan bangga ibu masih bisa mengingat apa yang di belinya. Oh ibu, walaupun aku tertawa dalam hati. Betapa hebatnya bangunan megah itu mampu membuat orang-orang kampung membicarakannya. Bahkan setelah berbulan-bulan. Sampai aku terkantuk-kantuk ibu terus bicara. Besok kita ke sana ya nduk. Ibu ajak kamu masuk ke dalam. Aku tersenyum dan mengiyakan. Besok ibu akan mengajakku. Di sana ia pasti akan bercerita banyak lagi.
***
Siang ini, ibu menepati janjinya mengajakku ke mini market. Beliau dandan dengan sangat rapi. Aku dipaksanya mandi, ganti pakaian dengan yang lebih bagus. Ibu akan merasa sangat berdosa kalau aku pergi tanpa persiapan apa-apa. Ibu, ini cuma mau ke mini market kataku. Aku tak perlu berdandan apa-apa. Namun ibu kecewa, dan merasa aku tak menghormatinya. Takut kualat karena membuat ibu murka, akhirnya aku berganti pakaian, menyisir rambut dan memakai sedikit bedak. Ini benar-benar menggelikan batinku. Bangunan megah di tengah kampung kami telah membuat segalanya berbeda,
Ini nduk tokonya. Bagus kan? Bersih, rapi, lantainya pakai keramik. Tapi sandal kita nggak perlu di lepas kayak di masjid nduk. Ibu menunjuk bangunan megah itu. Aku iya-iyakan saja apa yang dikatakannya. Kami masuk ke dalam mini market, di sambut dengan sangat ramah oleh para karyawan. Aturan perusahaan. Aku tahu itu. Ibu, aku sudah sering masuk ke tempat seperti ini. Bahkan lebih besar, ini sama sekali tidak istimewa. Ini sama dengan pasar atau warung-warung kita ibu. Aku ingin bicara seperti itu pada ibu. Tapi takut melukainya. Akhirnya aku menguntit ibu seperti ekor kuda. Beliau mengambil tas belanjaan, sebuah kebanggaan tersendiri. Bersama kami juga ada orang-orang yang sedang belanja. Penampilan mereka sama dengan ibu. Merasa sangat berdosa kalau tidak berdandan dengan rapi.
" Ini wafer seperti yang ada di tv nduk, di pasar sama di warung-warung nggak ada nduk. Kita jadi seperti orang kota ya. Ini susu untuk tulang, beli untuk bapakmu ya. Kalau kamu mau beli apa nduk. Pilih sendiri, trus taro di keranjang ini."
" Ia bu."
Aku berjalan menuju rak sampo. Sebenarnya rencanaku ingin membeli tempat Ibu Kresna, warung sebelah rumah. Tapi lagi-lagi karena aku menghormati ibu akhirnya aku memilih sampo ini. Ku masukan dalam keranjang yang dengan manis di cangklong di tangan kanan ibu. Cuma itu saja, Tanya ibu. Aku menganguk. Ibu membeli beberapa keperluan rumah tangga. Lalu beliau ikut antri dengan pembeli lainnya. Rasanya ibu terlihat sangat bangga. Oh mini market, kemegahanmu terasa kebanggaan warga kampungku. Sekarang giliran ibu membayar, ia menoleh padaku dan melambaikan tangannya menyuruhku mendekat. Ia ingin aku mendampinginya. Ia menunggu sang karyawan menjumlahkan semua harga. Ia tersenyum dengan sangat bahagia saat mendapatkan dua kantong belanjaan.
" Ini nduk, kamu bawa satu. Ibu bawa satu."
Kami keluar bangunan megah, langsung di sergap panas. Cuaca yang sangat berbeda. Sebelum kami berjalan berlalu, ibu sempatkan diri untuk menoleh sejenak dan mengagumi bangunan megah berkaca bening itu. Lalu dengan riang ia melangkah, kuikuti di belakangnya. Oh ibu, oh warga kampung. Mini market ini adalah kebanggaan kalian. Sebuah simbol kemajuan mungkin. Paling tidak kampung kecilku sekarang memiliki kebanggaan. Kebanggaan yang memunculkan kegelian tersendiri.
Sepanjang perjalanan ibu tak henti-hentinya mencaritakan betapa nyamannya belanja di mini market. Barang-barangnya lengkap, bisa milih sendiri, ruangannya dingin dan sejuk lagi. Para karyawannya ramah-ramah. Mereka semuanya datang dari kota. Di sini indekos tempat haji Rahmat. Aku tak mampu bicara apa-apa selain mengiyakan. Kegetiran yang muncul begitu mempesonakah mini market ini. Mini market dikampungku semakin gagap gempita. Semakin banyak pengunjungnya. Ibu bahkan lupa untuk bertanya tentang diriku. Mungkin sampai nanti aku pulang lagi ibu benar-benar tak akan bertanya mengapa kedatanganku setelah sekian lama. Semuanya karena mini market di kampung kami.
***
Epilogi.
Di banyak tempat di kampung katulistiwa. Warung-warung eceran menjadi sepi. Omset penjualan mereka berkurang hampir 50 %. Mereka hanya mampu mengecap pahitnya pembagunan mini market. Modal mereka tak seberapa. Untuk menyaingi bangunan megah itu. Mereka bukannya tak bangga kampung mereka memiliki bangunan megah mini market. Tapi, sudahlah. Keluhan mereka hanya terdengar sebagai rasa iri. Yang bertambah uangnya juga hanya pemodal kaya. Kasihan sekali mereka.
kutulis cerita ini sudah lama sekali, ketika pertama kalinya sebuah gerai mini market di buka di desaku....
sekarang gerai sejenis sudah menjamur....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Kehidupan
Historia CortaBeragam cerita pendek yang pernah kutuliskan ^_^