(2 November 2018)
"Mungkin cukup sekian untuk pelajaran kita hari ini. Berhubung waktu saya juga sudah habis, jadi selamat beristirahat!"
Kalimat dosen tadi mengakhiri kuliahnya sekaligus menutup kelas kami hari ini. Terlihat mahasiswa lain mulai beranjak dari kursinya sembari saling mengajak satu sama lain. Orang-orang itu berdesakan keluar dari pintu kelas, layaknya para narapidana yang ingin segera menghirup udara segar setelah terbebas dari penjara. Seperti itulah pendidikan di negeri ini, katanya orang-orang datang ke sekolah untuk menuntut ilmu, tapi di satu sisi mereka ingin segera pulang. Bukankah itu artinya mereka hanya terpaksa untuk datang ke sekolah dan kampus mereka?
Lalu bagaimana denganku? Ya, mungkin seperti itu juga. Tapi pribadiku lebih santai. Buktinya saat ini, aku masih duduk di tempat memandangi mereka yang bergerombol di pintu, padahal mereka bisa keluar kapan saja. Aku lebih suka diam dan mengamati, karena dari itu aku bisa banyak belajar. Meskipun begitu, jangan pikir bahwa aku ini tokoh utama dalam sebuah novel yang protagonis dan selalu bertindak positif. Tidak, aku sama seperti kebanyakan manusia yang munafik. Hanya saja, kubilang sekali lagi bahwa aku ini lebih tenang.
Sepuluh menit, kelas sudah lebih lengang. Kini tersisa aku dan satu orang perempuan-aku lupa namanya-yang sedang asik dengan laptopnya, mungkin memanfaatkan wifi gratis. Selain itu, ada satu lagi pria yang duduk paling belakang dan sejak tadi menatap kosong ke arahku, atau mungkin ke arah jendela di samping tempatku. Sekarang waktunya aku pulang. Aku berdiri mengambil tas kemudian melangkah ke arah pintu.
"Liana," panggil si perempuan wifi. "Kamu udah mau pulang?"
"Iya," jawabku singkat.
"Yah, kalau gitu aku pulang juga deh. Sendirian nih," keluhnya. Padahal 'kan masih ada si Pria-yang-Suka-Duduk-Paling-Belakang. Entahlah, mungkin si Perempuan-Wifi tidak suka berdua-duaan di kelas dengan seorang pria. Sementara itu, pria tadi masih menatap ke arah luar jendela, terlihat belum ada niat untuk beranjak. Aku tidak peduli, kuputuskan melanjutkan langkah untuk pulang.
***
Namaku Liana. Usiaku sekarang 18 tahun. Saat ini aku kuliah semester I jurusan Biologi di sebuah kampus di kota tempatku tinggal. Aku tidak begitu menonjol dalam pelajaran. Aku memilih jurusan Biologi karena sekadar suka. Dulu sebenarnya aku tidak suka biologi karena rumit dan banyak hafalan. Akan tetapi, entah sejak kapan aku mulai tertarik dan berminat untuk menekuninya.
Aku anak tunggal, anak satu-satunya yang lahir hidup setelah ibuku berkali-kali keguguran. Tapi jangan kira aku sangat disayangi seperti anak tunggal pada umumnya. Ibu meninggal sejak aku SMP. Sekarang aku tinggal berdua dengan Ayah yang sangat sibuk. Itulah kenapa aku ini introver, terbiasa menyendiri, dan pendiam. Aku lebih suka mengamati.
Aku tidak mudah mengingat nama orang. Oleh karena itu, untuk mengingatnya aku mencari hal-hal yang berhubungan atau biasa mereka lakukan. Bahkan aku hampir tidak mengingat apa-apa tentang masa-masa yang lalu. Aku juga mencoba tidak menarik perhatian dan menjalani hari-hari dengan santai. Mungkin itulah mengapa aku tidak punya teman akrab, atau lebih tepatnya aku tidak ingin berteman. Lagipula aku merasa tidak ada yang peduli padaku, bahkan orangtuaku sendiri.
***
(5 November 2018)
Sial, hari ini aku hampir terlambat. Untung saja dosennya belum datang. Terpaksa aku duduk di kursi paling belakang, tepat di samping Pria-yang-Suka-Duduk-Paling-Belakang. Sebenarnya aku agak risih dan mencoba menghindari pria satu ini. Sudah hampir 3 bulan perkuliahan dan dia selalu saja seperti mengawasiku. Tapi aku selalu mencoba untuk berpikir positif dan tetap bertindak biasa. Lagipula sikapnya sangat aneh. Kadang dia duduk berkumpul dengan anak lain, sesekali tertawa mendengar cerita mereka. Tapi dia sangat jarang berkomunikasi dua arah dengan seseorang.
"Hei!"
Aku mendengar sebuah suara pria seperti memanggilku. Kuabaikan, tetap fokus mengecek buku yang jangan sampai tertinggal karena terburu-buru pagi tadi.
"Telat bangun ya?"
Kali ini aku berbalik. Tidak salah lagi, orang ini sedang bertanya kepadaku. Ternyata Pria-yang-Suka-Duduk-Paling-Belakang yang memanggilku tadi. Oh tidak, ini pertama kalinya dia berbicara denganku. Padahal selama ini aku santai saja karena dia hanya seperti mengamati dari jauh, tapi kali ini mentang-mentang aku duduk di dekatnya dan dia menyapaku.
"Iya," jawabku singkat. Sebenarnya batinku berkata "iya, emang kenapa, ga usah tanya-tanya kali," tapi untungnya mulutku tidak sekasar itu.
"Dasar, kebiasaan lo ya kalau hari Senin," katanya sambil tertawa kecil.
Kebiasaan? Hei, sejak pekan pertama kuliah baru dua kali aku datang terlambat di hari Senin. Itu belum bisa dibilang kebiasaan. Dan lagi, bagaimana cara bicaranya itu, seolah kami ini sudah saling kenal. Padahal namanya pun aku tidak ingat. Bahkan aku tidak yakin apakah dia tahu namaku.
"Liana, kan? Habitus tumbuhan yang biasa menggantung di pohon."
"Eh, iya, hehe," balasku membenarkan. Apa ini? Apa dia baru saja membaca pikiranku? Ditambah lagi penjelasan sok pintarnya tentang arti namaku. Aku tahu ini kelas biologi, tapi apa maksudnya? Aku tahu ini pasti salah satu metode pria playboy untuk menarik perhatian wanita.
"Liana, lo lagi bicara sama siapa? Sambil ketawa gitu," ujar seorang perempuan yang sedari tadi duduk di depanku sembari membaca komiknya. Sebut saja si Perempuan Komik.
"Eh, ini. Sama si Pria-yang-Suka-Duduk-Paling-Belakang," jawabku spontan. Gawat, aku keceplosan. "Eh, maksudku ...."
Tunggu dulu, aku berpikir keras mencoba mengingat namanya. Tapi tidak ada! Aku tidak ingat sekalipun seseorang pernah memanggil namanya, bahkan seorang dosen.
"Riko," jawab si Pria-yang-Suka-Duduk-Paling-Belakang membantuku.
"Yah, maksudku Riko, hehe."
"Riko? Riko siapa?" Huft, ternyata si Perempuan Komik juga tidak tahu nama laki-laki ini.
"Ini loh, yang duduk di sebelah ...," ucapku sambil menunjuk ke arah kursi Riko.
"Yang mana sih?"
"Ini 'kan, biasanya juga dia selalu duduk disit..," aku menoleh dan ternyata dia sudah tidak ada di tempatnya.
"Hmm, lo aneh ya Liana," ujar si Perempuan Komik kembali asik membaca komiknya.
Aku masih heran, entah kemana dia pergi secepat itu. Kulayangkan pandanganku ke seluruh bagian ruang kelas namun aku tidak dapat menemukan sosoknya. Benakku masih menimbulkan banyak pertanyaan tentang si Pria-yang-Suka-Duduk-Paling-Belakang. Siapa dia? Kenapa dia sok akrab denganku? Kenapa tadi si Perempuan Komik tidak melihatnya? Kenapa dia pergi tiba-tiba? Kemana dia?
"Selamat pagi," sapa seorang dosen yang baru saja masuk ke ruang kelas sontak menghentikan aktivitas para mahasiswa, sekaligus menghentikan lamunanku.
Saat itu, aku tidak tahu bahwa percakapan singkatku dengannya pagi ini akan mengubah hari-hariku kemudian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey Throughout The Memories [HIATUS]
General FictionApakah kau masih mengingat setiap detail peristiwa yang pernah kau alami? Pernahkah kau berpikir bahwa suatu hal di masa lalumu, entah sekecil apapun itu, bahkan sehelai daun yang gugur sekalipun, ada hubungannya di masa depan? Sekarang kau memiliki...