Chapter 1 [Semut]

24 3 9
                                    

Namaku Meysya, Meysya Anastasya Wiratmaja lengkapnya. Seminggu penuh aku berkutat dengan tugas-tugas kampus yang beruntut saling berdatangan. Kertas berhamburan di lantai, bantal dan selimut yang kini tak ada lagi di tempatnya, cemilan berceceran dan semut pekerja yang lalu lalang membentuk barisan bak peringatan 17 Agustusan yang menarik minatku untuk mengamati aktivitas padat mereka saat ini.

Aku diam memperhatikan, menumpukan wajah pada kedua telapak tangan di atas meja. Remahan kue kering menarik penciuman para semut untuk berdatangan. Beberapa diantaranya mengerubuni remahan dan yang lainnya masuk dalam barisan. Antena kecil di kepala semut membuatnya lebih mudah mencari makanan. Penciuman yang tajam membuat semut tahu di mana ada makanan dan selalu bisa menemukannya. Yang membuatku tertarik, semut mengangkut makanan yang lebih besar dari tubuhnya. Lalu saling bahu membahu untuk mengangkut makanan sebanyak mungkin kesarang mereka.

Pandanganku beralih keluar jendela. Memandang bintang dan bulan yang tampak bersembunyi di balik awan gelap di atas sana, sepertinya akan turun hujan malam ini. Udara dingin yang berhembus membuatku bangkit untuk menutup jendela. Mengakhiri perbincangan manisku mengagumi semut yang membentuk barisan di sela-sela jendela yang kini tertutup.

Deadline untuk semua laporan harus dikirim malam ini. Jika tidak, sudah di pastikan aku harus menunggu dua semester agar bisa kembali mengambil mata ajar Pak Khair. Muhammad Khair Rafardhan Al-Fattah, beliau adalah dosen dengan tipe yang gemar menceritakan pengalamannya, entah itu pengalaman ketika studi di negeri matahari terbit, ataupun pekerjaannya sebagai dosen.

Di sela-sela mengajar, beliau seringkali menyelipkan berbagai macam cerita pengalaman hidupnya dengan tujuan sekedar sharing. Saking menariknya, mahasiswa kadang lupa dengan sifat killer nya. Mimik wajah kaku dengan ekspresi yang selalu sama. Tampan, tapi dingin. Berwibawa, tapi kata-katanya pedas. Orang yang paling perfeksionis yang pernah kukenal, sangat di hormati di kalangan dosen. Namun, cukup di takuti oleh para mahasiswa.

Kelas berubah menjadi sunyi senyap, sampai-sampai suara jangkrik pun bisa terdengar di setiap mata ajarnya. Meskipun begitu, beliau yang terbaik dalam hal metode mengajar dibandingkan dosen-dosen lain. Penyampaian materinya cukup mudah untuk di mengerti. Hanya satu masalah yang ku hadapi dan mahasiswa lain yang ia ajar, dosen muda satu ini sangat disiplin. Terlambat satu detik, pintu akan tertutup dari dalam dan ucapkan selamat datang pada tugas pengganti yang akan muncul di kotak masuk email mu.

Ibarat sebuah film, jika ada peran protagonis tentu adapula peran antagonis. Sama halnya dengan lingkungan kampus, dan biasanya ada yang berperan sebagai antagonis, di sinilah peran Pak Khair dengan tipe killer nya. Tak ada sisi humoris yang pernah ia tampakkan. Meskipun begitu, beliau tetap menjadi idola di kalangan dosen wanita dan para mahasiswi karena wajahnya yang rupawan dan senyum tipis yang khas dari dosen muda satu itu.

Jam yang tergantung apik di dinding sudah menunjukkan pukul 23.45 menit. Sedangkan semua laporan harus dikirim pukul 24.00 malam ini. Tersisa 15 menit dan semoga saja wifi lancar jaya tanpa macet seperti jalan tol. Segera kukirimkan semua laporan lewat email agar prahara kehidupanku selama 7 hari, 168 jam, 420 menit, 25.200 detik dapat segera berakhir. Aku ingin segera tidur nyenyak dan merenggangkan semua otot-ototku yang terasa kaku.

Semua laporan sudah terkirim, segera kumatikan komputer dan sesegera mungkin menghempaskan tubuhku ke kasur lembut yang masih setia menungguku di sudut ruangan. Samar-samar, rintik hujan mulai terdengar. Lambat laun semakin deras menghantuk kaca jendela di depanku.

Hujan malam ini mengingatkanku tentangmu. Rintiknya membawa kenangan lama, suara dentumannya mengingatkan tentang rindu yang tak bertuan. Meskipun sekarang, merindukanmu tidak semudah dulu. Karena merindukanmu saat ini adalah hal yang tabu bagiku. Kuraih sebuah foto di dalam laci, memandang lamat potret yang tersenyum simpul di dalamnya. Seragam putih abu-abu dengan coretan di mana-mana, potret di hari kelulusan.

Malam ini, setumpuk laporan membawa bayangan baru dalam kepalaku. Namun malam ini juga, hujan membawa bayangan lama dari masa lalu seperti semut yang mengerumuni gula. Bayangan yang sempat kutitipkan pada sepotong rindu yang pergi membawa hati. Bayangan yang tak pernah lagi kuinginkan, tetapi tetap saja muncul diantara ribuan tetes hujan yang saling berlomba berjatuhan.

Seperti semut, aku tidak suka berhutang, terutama untuk kenangan. Jika menghapusmu semudah menekan tombol delete pada keyboard komputer, sudah lama aku melakukannya. Bahkan, mungkin aku langsung melakukannya di hari itu.

Aku suka mendermakan apa yang ku miliki. Namun kepadamu, aku mendermakan sesuatu yang salah. Tak ada kantong ajaib yang ku punya seperti milik semut, karena pada kenyataan nya, aku tidak pernah setulus semut yang dengan mudah memberikan kebahagiaan pada semut lain dari kantong ajaibnya.

Sekarang, aku hanya sebatas orang asing ketika nantinya kita berpapasan di jalan. Atau, paling tidak kita berdua akan berhenti dengan posisi berhadapan saling menatap lalu melanjutkan langkah. Benar, kita bukan semut yang akan saling menyapa, bertukar kabar apalagi saling melempar senyum. Karena pada kenyatan nya, kita bukanlah semut yang dapat saling menemukan.

Assalamu'alaikum CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang