Part 1

21 3 0
                                    

Hatchiiiiii... Hatchiiiiii...

"Benci banget sama senja!"

Hatchiiiiii...

"Senja sialan!"

Senja, bukan nama orang. Tenang saja, Dita tidak sedang mencaci maki seseorang yang bernama senja. Melainkan mencaci maki keadaan dimana bumi menjadi setengah gelap sesudah matahari terbenam, ketika piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala.

Mengapa Dita sangat benci senja? Jawabannya karena setiap menjelang petang tepatnya saat senja tiba dirinya selalu mengalami flu disertai demam.

Tidak tahu penyebab awalnya bagaimana. Yang jelas Dita mengalami hal mengganggu ini sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Dita sudah sering mencari tahu penyebab  demam rutinnya itu, mondar-mandir ke dokter, menuruti arahan dokter agar rutin minum obat. Hasilnya tetaplah sama. Hingga dia berusaha bersikap bodo amat.

Tok, tok, tok.

Suara pintu diketuk dan orang yang mengetuk pun menyembulkan kepalanya. Itu Naga, Kaka Dita satu-satunya. Usil, tapi Dita sayang. "Dipanggil Tante May makan malam. Jangan bersin mulu! Heran gue bakat lo cuman bisa bersin apa?"

Ingin rasanya Dita menghajar Naga, namun cowok itu sudah kabur, seolah tahu bahwa Dita akan menghajarnya habis-habisan.

Wanita berusia 40 tahun, namun masih terlihat cantik dengan daster dan rambut yang dicepol, sedang menata piring dan melihat Dita menuruni tangga dengan tatapan khawatir.

"Dit, udah diminum obatnya?" Tanya Tante May yang merupakan adik mendiang Mamanya.

"Udah, Tan, barusan." Ujar Dita sambil ikut membatu menata piring. "Om Rama belum pulang, Tan?"

"Belum, lembur katanya."

Dita hanya membulatkan mulutnya, lalu menyomot bolu keju yang ada dihadapannya itu. Demamnya sudah mulai membaik, jadi dia bisa dengan leluasa beraktivitas.

"Dit, cowok lu tuh!"

Dita menyerit heran sambil terus mengunyah bolu. Siapa cowok yang dimaksud Naga? Seingatnya dia jomblo. Apa Bima, mantanya? Tapi Dita buru-buru menyangkal pikiran itu, karena mana mungkin Bima datang lagi ke rumahnya, setelah hubungan mereka berakhir dengan Dita sebagai penyebabnya.

Mungkin Dita lupa, bahwa setiap ada orang yang berjenis kelamin laki-laki mencarinya, Naga selalu menyebut itu sebagai 'cowoknya Dita'.

'Paling Doni'. Ujar dewi batinnya.

Setelah membersihkan tangannya, Dita meminta izin kepada tantenya untuk menemui orang yang Naga sebut sebagai 'cowoknya'.

Dita berlari kecil menuju ruang tamu, mendapati tubuh tegap juga jangkung sedang memainkan ponsel. Dia meyakini itu bukan Doni, teman sebangkunya. Lantas siapa cowok itu?

"Siapa ya-" Dita terkejut, melihat siapa yang bertamu ke rumahnya. "Andra?"

Andra tersenyum tipis, lalu menunjukkan wajah datarnya lagi. "Lagi sibuk?"

Kening Dita berkerut. Bukannya menjawab pertanyaan Andra, Dita justru balik bertanya, "Lo mau ngapain ke sini? Tau dari mana rumah gue?"

"Bukan urusan lo." Balas Andra singkat. Cowok itu merogoh saku boomber jaketnya, mengambil ponsel kemudian membaca pesan masuk.

Andra kembali menatap Dita yang masih setia mematung didepannya. Ia menyadari bahwa Dita masih terkejut dan heran akan kedatangannya. Pasalnya memang ini yang pertama kali Andra menginjakkan kaki di rumah Dita.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fever at DuskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang