Hall basket sekolahnya terasa sepi, jelas saja jam pelajaran masih berlangsung jadi sekarang hanya ada Gavin yang duduk di tribune. Tidak ada yang olahraga karena memang tidak ada jam olahraga di atas pukul 12 siang. Dia menegak soda yang tinggal setengah dari soda kaleng yang didapatnya dari vending machine. Dia menghembuskan napasnya kasar. Hari pertamanya kemarin sangat melelahakan. Gavin meneguk kembali dengan cepat sodanya yang setelah itu dia remukan lalu dibuang kesembarang arah.
"Aww" terdengar rintihan wanita dari arah Gavin melempar kalengnya yang dilemparnya ke arah lorong masuk ke hall. Gadis itu berjalan cepat memasuki mencari tersangka yang melemparnya dengan kaleng soda dan langsung melempar balik ke arah Gavin.
Gavin berdiri dari duduknya, "Heh cewek gila!"
Gadis itu melotot sambil meletakkan tangannya di kedua pinggangnya, "Lo yang gila!" teriak gadis itu lantang. Napasnya naik turun menahan emosi, "dasar tukang ribut, nyusahin-" lanjutnya yang membuat Gavin menaikkan satu alisnya menjadi heran.
"-dan lo gak mau bantuin gue beli softex!" yang ditutup dengan tangisan yang pecah tiba-tiba.
Emang gila nih cewek,batin Gavin.
Dia memperhatikan Nara yang masih menangis yang terkadang memukul dadanya sendiri. Gavin langsung turun dari tribune untuk menghampiri gadis itu karena tidak tega mendengar tangisannya yang melengking.
Menyedihkan.
Gavin sudah berjarak dua meter dari tempatnya ke tempat Nara karena masih takut gadis itu semakin histeris. Rambutnya terurai seperti sengaja digunakannya untuk menutup sebagian wajahnya. Sepertinya ini salah satu tips wanita agar raut sedih dan berantakannya tidak terdeteksi orang lain.
Gavin sedikit mendeketas smpai tangannya mencaapai pundak Nara.
Puk puk.
Tepukkan tadi membuat gadis itu menengok ke arah Gavin, terlihat eksperesi penuh kesedihan yang sebenarnya lebih dominan ke ekspresi kecewa. Dia memperhatikan Nara yang sedang mengusap wajahnya kasar yang penuh dengan air mata, terlihat tidak peduli bagaimana kacaunya dia sekarang. Berusaha meraih scrunchie putih dengan motif bunga daisy yang melingkari pergelangan tangannya lalu menguncir rambut yang sudah tidak ada bentuknya itu.
Nara mulai mengatur napasnya yang masih naik turun karena emosinya yang keluar tadi, "jangan ngeliat gue kayak gitu, Vin" ujarnya.
"Ngeliat gimana?"
"Seakan-akan lo ngasihanin gue" jawab Nara yang membuat Gavin terpingkal karena gadis dihadapannya ini terlampau percaya diri kalau dia akan mengasihaninya.
Nara mendengus respon Gavin, "kok lo malah ketawa sih?"
"Katanya lo nggak mau gue kasihanin" jelas Gavin yang akhirnya dibalas anggukkan malu-malu dari Nara.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki dan suara orang bercakap dari arah lorong. Tanpa aba-aba Gavin sudah menarik Nara ke deretan loker untuk bersembunyi.
"Kok narik-narik sih Vin?"
Gavin hanya memberi kode dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Nara agar berhenti berbicara. Nara menahan napasnya saat Gavin meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya dan tesadar kalau jarak mereka hanya dibatasi lengan Nara yang membuat jarak antara mereka.
Sayup-sayup terdengar suara Pak Sudar yang berjalan dengan satu orang lainnya, "Kalau kayak gini, anak kelas tiga bisa ngamuk semua pak."
"Saya tidak mau tahu, kamu usahakan supaya mereka mengerti" sahut suara lainnya, seperti suara Pak Bahar sang kepala sekolah. "Saya tidak bisa membuat Gavin juara umum secara tiba-tiba, Pak" Pak Sudar sedikit berteriak ke Pak Bahar karena permintaan beliau yang akan menimbulkan iri kepada anak lain. Cengkaraman Gavin di tangan Nara semakin kuat, tapi tidak membuat Nara melepaskan pandangannya dari pria itu.
Perlahan suara Pak Bahar dan Pak Sudar menjauh dari hall. Gavin dengan cekatan menarik lengan Nara untuk keluar dari ruangan tersebut. Gavin menatap nyalang sekitarnya, membuat Nara takut untuk mengungkit pembicaraan tadi. Nara perlahan mencoba melepaskan cengkraman Gavin yang tidak dilepaskanya sedaritadi. Bukannya melepaskan, Gavin malah menariknya untuk ke arah parkiran motor yang membuat Nara panik.
"Vin lo mau ngapain?" kepanikan dalam suara Nara semakin jelas ketika Gavin menayalakan mesin motornya, yang membuat satpam sekolahnya atau yang biasa dipanggil babeh menoleh ke parkiran.
"Woi! Mau kemana kalian?" teriak babeh dari kejauhan.
"Naik, cepet" titah Gavin, Nara masih bergeming di tempatnya tidak menuruti perintah Gavin. Gavin ang sudah kehilangan kesabaran mengangkat tubuh Nara ke atas motor yang membuat Nara otomatis duduk di atas motor. Babeh berjalan mendekat ke arah mereka dengan muka siap bertarung.
"Loh? Mas Gavin kenapa keluar jam segini?" tanya babeh saat sudah sampai depan motor Gavin, yang sekarang memelankan suaranya karena sudah tau itu Gavin.
"Saya mau ketemu bapak dulu, beh," ujar Gavin yang hanya dibalas anggukkan oleh babeh.
Setelah memberikan beberapa tip kepada babeh, Gavin langsung melajukan kendaraannya menjauh dari sekolah yang entah kemana.
Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai ke salah satu gedung perkantoran di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Gavin memarkirkan motornya di parkiran bahkan kedatangannya tidak menimbulkan pertanyaan dari satpam kantor.
Gavin terus melangkahkan kakinya ke dalam lift menuju ke lantai 7 entah untuk bertemu siapa. Nara masih mengekor di belakang Gavin tidak berani bertanya sekalipun kepada Gavin karena aura mematikan yang terpancar dari dalam diri Gavin.
Ting.
Pintu elevator terbuka. Gavin berjalan terus melewati lorong-lorong yang sepi, jarang sekali ditemuinya orang-orang yang berada di lantai ini, kecuali office boy yang tadi sempat terlihat. Kaki panjang Gavin membuat Nara kewalahan menyamakan langkah Gavin yang terlalu lebar.
Gavin menggesekkan sebuah kartu akses untuk membuka pintu yang terhubung ke luar ruangan. Masih terus berjalan, Gavin lalu berhenti pada sebuah gazebo yang lumayan luas.
Gavin menhirup oksigen sebanyak-banyaknya, seperti ada beban yang dia tahan"Vin," Nara membuka percakapan setelah keheningan selama perjalanan tadi.
"Kita di gedung kantor bokap gue," tuturnya seperti sudah menjawab pertanyaan yang ada di dalam benak Nara. Membuat Nara mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Gavin yang terlihat putus asa.
"Kok tadi Pak Bahar-"
Ucapan Nara terpotong lagi, seakan Gavin sudah tau apa yang akan Nara bicarakan.
"Itu kerjaan bokap gue Ra," Gavin mengusap wajahnya kasar "jangan kasih tau masalah ini ke murid lain, okay?" Dan untuk pertama kalinya Gavin memohon kepada seorang perempuan yang bahkan dia tidak kenal dekat selain kakak perempuannya.
Nara mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya, di hati kecil nya Nara kembali percaya kepada seorang laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Sweetheart
Teen FictionKatanya, masa SMA itu masa yang paling indah? Begitu pula dengan cerita Nara di akhir tahun masa sekolahnya.