Aku berdiri mematung ketika Ayah dari Kim Donghyun, yang baru aku tahu beberapa detik yang lalu, menghampiri kami di gerbang sekolah sesaat kami akan pulang sekolah bersama, dan mengatakan hal yang membuat asam lambungku naik.
Mataku membelalak tidak percaya saat Ayah Donghyun mengatakan hal itu. Aku melirik wajah Woojin yang ada di sebelahku. Wajahnya sama terkejutnya denganku, tidak. Lebih tepatnya sangat amat terkejut.
Kenapa?
Kenapa Donghyun masih hidup?
"Aku tahu kau sangat terkejut dengan berita ini. Aku tahu kau adalah teman dekat Donghyun, jadi aku ingin kau mendengar ini dan menjenguknya di rumah sakit sekarang. Aku juga ingin mendengar darimu kenapa bisa Donghyun melakukan hal seperti itu. Mungkin kau tahu sesuatu yang tidak kami tahu." Jelas Ayah Donghyun. Sepertinya Ayah Donghyun benar-benar tertipu dan percaya kalau Woojin memang teman dekat Donghyun, termasuk Donghyun sendiri yang juga tertipu oleh Woojin.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Tanya Woojin lirih.
"Masih belum siuman. Semalam sempat kritis tapi sekarang sudah membaik. Kalau aku tidak cepat-cepat menemukannya dan membawanya ke rumah sakit, mungkin dia sudah tiada sekarang." Jelas Ayah Donghyun dengan raut wajah sedih. Terlihat kantung mata yang menghitam menandakan ia tidak tidur semalaman sampai sekarang. Seperti benar-benar sosok seorang Ayah yang menyayangi anaknya.
Aku menyelidik.
Apa seperti ini sosok seorang Ayah yang selalu bertengkar dengan anaknya?
Sepertinya ada yang salah disini.
"Duluan saja. Aku akan ke rumah sakit nanti, aku ingin pulang dulu mengganti seragamku." Ujar Woojin. Ayah Donghyun mengangguk dan menepuk pundak Woojin pelan. Setelah itu pergi dengan taksi yang memang sudah terparkir disana sejak tadi kedatangannya.
Setelah pergi, aku melihat Woojin kembali. Wajahnya terlihat menatap taksi itu pergi menjauh dengan tatapan tajam dan menusuk.
"Sialan!" Desis Woojin. Aku berjalan mengikutinya saat ia tiba-tiba berjalan cepat, otomatis aku juga ikut berjalan cepat. Dalam perjalanan pulang ke rumah Woojin, di dalam bus pun wajahnya sudah tidak bersahabat.
Setelah sampai dirumah, Woojin membuka pintu dengan kasar dan membanting pintunya, beruntung aku sudah masuk lebih dulu. Aku tidak berani membuka mulutku jika Woojin dalam mode seperti ini, bisa-bisa aku yang akan dibunuh nanti.
"Sialan! Dia belum mati!" Desis Woojin lagi. Woojin melangkahkan kakinya menuju kamarnya dan membuka seragamnya mengganti dengan baju yang lebih kasual.
Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku ke rumah Woojin. Rumahnya tidak kecil tapi juga tidak besar. Sangat bersih dan rapih. Dan sangat sepi dan sunyi. Aku menghampiri lemari kecil yang berada tepat di sebelah pintu dapur. Aku melihat bingkai foto disana.
Laki-laki. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi sepertinya aku kenal wajahnya. Tapi siapa...
"Hyung, apa mau ganti baju?" Tanya Woojin. Aku tersentak mundur dan berjalan kembali menuju kamar Woojin.
"Tidak perlu. Aku begini saja." Jawabku.
"Oke." Woojin melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Aku berjalan di belakang Woojin. Menatap punggung lebarnya dari belakang. Aku tahu hati Woojin saat ini tidak tenang. Aku ingin menenangkannya tetapi aku takut salah. Aku takut tingkahku malah membuatnya lebih marah lagi.
Jam saat ini sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sudah hampir malam, tetapi aku tidak memutuskan untuk pulang. Aku ingin mengikuti Woojin. Lagipula aku pulang atau tidak pulang pun tidak berpengaruh apa-apa dirumah.
Saat ini kami tengah dalam perjalanan ke rumah sakit menggunakan bus. Kami memilih bangku paling belakang, sore ini entah suatu kebetulan tidak ada banyak penumpang di bus yang kami naiki. Wajah Woojin masih terlihat keras, tangannya mengepal dengan kencangnya. Aku menggenggam tangan itu untuk menenangkannya.
"Tenang." Ucapku. Woojin menelusupkan wajahnya pada leherku. Aku mengelus belakang lehernya untuk menyalurkan rasa tenang. Tapi orang seperti Woojin dalam keadaan seperti ini sudah pasti akan tenang walaupun tidak ada aku.
"Apa yang akan kau lakukan nanti?" Tanyaku pelan. Bagaimanapun aku harus hati-hati.
"Aku tidak tahu. Aku akan memikirkannya nanti."
"Apa kau sangat menginginkan dia untuk mati? Apa aku bisa membantumu?" Tawarku. Woojin mengangkat wajahnya dan menatap wajahku dengan wajah terkejut. Tangannya terangkat mengelus puncak kepalaku.
"Apa Woongie Hyung tidak takut? Aku tidak ingin Hyung kenapa-kenapa." Lirih Woojin. Aku mengerti perasaannya.
"Jika bersamamu, aku percaya aku akan aman. Jadi aku tidak takut." Ucapku. Woojin membawa wajahnya mendekat kearahku dan seketika itu kening kita menyatu. Matanya terpejam dan aku mengikutinya, merasakan hangatnya kening Woojin mengalir ke kepalaku.
Aku membawa wajahnya lebih mendekat dan menyentuh bibirnya. Hanya sentuhan seperti yang ia lakukan tadi pagi. Entah kenapa rasanya, aku tidak ingin, sangat tidak ingin kehilangannya.
"Biar aku yang melakukannya. Ini urusanku." Ucap Woojin setelah sentuhan intim kita terlepas. Aku menghela nafas, Woojin selalu melakukannya sendirian.
"Bilang padaku kalau kau butuh bantuan."
.
.
.
.
Aku membuka mataku disaat aku mendengar suara gaduh. Woojin membawaku keluar ruang rawat Donghyun ketika para dokter dan perawat masuk dengan tergesa. Aku yang masih setengah sadar karena bangun dengan tiba-tiba menatap Woojin untuk meminta jawaban.
"Donghyun Hyung siuman." Jawab Woojin. Aku mengangguk mengerti. Aku menatap ponselku.
7.14
Sudah pagi ternyata.
Setelah menunggu beberapa menit, para perawat dan dokter keluar ruangan. Dokter menjelaskan kondisi Donghyun pada Woojin. Dokter bilang kalau Donghyun dirawat beberapa hari lagi maka kondisi akan pulih total, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas kondisi Donghyun sekarang.
Setelah itu, kami berdua masuk kembali ke dalam.
"Kau tidak ingin menghubungi orang tuanya?" Tanyaku.
"Tidak. Jangan sekarang." Jawab Woojin.
Woojin menghampiri Donghyun yang masih berbaring dengan alat bantu pernafasannya. Donghyun melirik Woojin yang datang dan duduk disebelah Donghyun. Aku memutuskan untuk berdiri di belakang pintu saja.
"Aku masih hidup, Woojin-ah." Ucap Donghyun pada Woojin, suara lirihnya masih dapat kudengar.
"Kenapa kau disini juga?" Tanya Donghyun. "Apa kau juga selamat?"
Aku mengerutkan keningku. Maksudnya apa?
"Bukankah kita berdua memutuskan mati bersama?" Lirih Donghyun lagi.
Oh..
.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Love & Lies {Chamwoong} 2Woo
RomantikAku, Jeon Woong, entah bagaimana malah memiliki keterikatan dengan si pembunuh ini. Park Woojin yang harusnya aku takuti, malah aku cintai. bxb yaoi